TAHAP-TAHAP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK


TAHAP-TAHAP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK
 

A.        PENDAHULUAN
           
Perancangan Kontrak (Contract Drafting) tidak sama dengan Hukum Perjanjian (Law of Contract). Dalam perancangan kontrak adalah bagaimana kita mewujudkan aspirasi dalam bahasa hukum sehingga kata demi kata dan kalimat yang tertuang dapat dibuktikan di mata hukum atau persidangan. Kalimat yang tertuang jangan berupa kalimat yang ambigu, tidak jelas, tidak limitatif, dan tidak tegas. Hal yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara mempersiapkan kontrak, bahasa dalam kontrak, kontrak baku, kesepakatan dalam kontrak, saksi-saksi dalam kontrak, dan ingkar janji dalam kontrak atau disebut wanprestasi.

B.        PEMBAHASAN

1.                  Persiapan Kontrak

Mengenai persiapan kontrak sebagian ahli hukum menganjurkan adanya negosiasi sebelum masuk ke dalam perbuatan kontrak. Untuk itu, beberapa asumsi yang harus dipegang dalam perancangan kontrak antara lain adalah :
1.         Para pihak menandatangani kontrak karena memang benar-benar ingin melakukannya dan bukan ingin berperkara di pengadilan.
2.         Kontrak yang di buat harus memuaskan para pihak dan para pihak akan melaksanakan kontrak itu.
Perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya wanprestasi atau tidak dapat dilaksanakannya objek kontrak. Apa yang harus dilakukan oleh pihak lain apabila adalah satu pihak memang melakukan wanprestasi atau apa upaya yang ditempuh pihak yang menderita kerugian akibat tidak dapat dilaksanakannya objek kontrak. Disamping itu dalam perjalanan transaksi mungkin saja terjadi perbedaan penafsiran akan isi kontrak. Hal-hal tersebut akan menyebabnya terjadinya konflik diantara para pihak.
Dalam mempersiapkan kontrak perlu diingat dua prinsip dalam hukum kontrak:
1.      Beginselen der contractsvrijheid atau party autonomy yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan ( tentunya harus sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum)
2.      Pacta sunt servanda yaitu sekali mereka sepakat, kontrak itu berlaku mengikat sebagai mana undang-undang.
Apabila suatu rancangan kontrak disetujui oleh kedua belah pihak kontrak itu dapat ditandatangani. Jika kontrak telah di tandatangani para pihak terikat untuk melaksanakan prestasi dan kontrak perstasi. Apabila kedua belah pihak melaksanakan seperti apa yang tertuang di dalam isi kontrak, kontrak itu di anggap sesesai.[1]

2.                  Bahasa dalam Kontrak

Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang digunakan sehari hari penuh dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu kewaktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, para pembuat kontrak juga harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah dibidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama bahasa hukum yang dipergunakan dalam suatu kontrak.
Soal penggunaan bahasa ini, termasuk istilah asing dan banyaknya ditemukan kalimat panjang dalam aturan hukum yang menyebabkan sulit untuk mencari subjek, predikat atau objeknya, menurut Arief Sioharta, ini sebenarnya soal teknik legal drafting yang masih belum baik. Ia belum yakin benar dengan apa yang dihasilkan oleh si legal drafter-nya. Apalagi jika membaca bahasa notaris, rumitnya tidak karuan. Maksud dan tujuan utamanya demi kepastian hukum, tetapi karena pengelolaan bahasanya kurang bagus, maka jadinya sulit dipahami. Di indonesia, perhatian terhadap soal legal drafting baru muncul sekitar tahun 1980 an. antara lain dengan mengirim sekitar 200 orang keluar negri untuk belajar mengenai legal drafting. Sampai saat ini kemampuan tersebut terus dikembangkan namun demikian, hasilnya pun belum bisa dikatakan bagus.
Mengenai bahasa kontrak ini, Munir fuadi secara gamblang menguraikan beberapa karekteristik dari bahasa kontrak, antara lain[2]:
1.      Berlebihan
Sering kali bahasa kontrak itu terlalu panjang dan berbelit-belit sehingga terkesan berlebihan. Sampai batas tertentu, hal itu masih di terima mempunyai tujuan yang jelas, maka sebaiknya di hindari.
2.      Pilihan kata yang tegas dan ekstrim
Pilihan kata dan kontrak cenderung tegas, ekstrim bahkan bombastis. Hal ini di lakukan agar tertutup kemungkinan penafsiran macam-macam dari kata tersebut sehingga merugikan salah satu pihak. Dan dapat di pertanggungjawabkan dari segi pengertiannya.
3.      Acuan yang jelas
Agar tidak timbul penafsiran ambigu, maka setiap kata yang mempunyai acuan pada kata atau kalimat lain harus jelas kata tersebut me-refer ke mana. Dalam hal ini, di dalam kontrak sering muncul dalam tiga hal, yaitu kata ganti, kata sambung dan atau kata acuan lainnya
4.      Bahas terjemahaan
Dalam kontrak sering terdapat kata-kata yang merupakan terjemahan, yang kadang-kadang memang diperlukan, terutama karena masih belum ada pedoman katanya dalam bahasa Indonesia.
5.      Istilah khusus dalam hokum/kontrak
Banyak kata-kata yang khusus dipakai dalam hukum atau kontrak yang ternyata jarang di pergunakan dalam bahasa Indonesia sehari-hari, seperti force majeure, wanprestasi dan yang lainnya.
6.      Mempermudah operasionalisasi kontrak
Penting di perhatikan adalah bagaimana agar pelaksanaan kontrak di kemudian hari tidak mendapat benturan yang berart, baik karena penggunaan bahasa yang tidak benar ataupun karena konsep tertentu yang tidak jelas.
7.      Mecari pedoman walaupun kabur
Sering juga dalam kontrak di pergunakan istilah yang lebih merupakan kompromi dari dua kepentingan,tetapi mempunyai makna yang kabur.
8.      Agar khidmat atau menyeramkan
Dalam kontrak selalu ada usaha untuk membuat kesan seolah-olah perjanjian tersebut mesti dihormati atau ditakuti, seperti frase: ”di tandatangani dengan materai yang cukup”.
Mengenai penggunaan bahasa dalam suatu perjanjian kerjasama dengan pihak asing, berdasarkan Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menyatakan bahwa :
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Lebih jauh dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa:
(1) Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.
Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan atau bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.
(2) Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.”
Pengaturan mengenai penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian kerjasama dengan pihak asing telah diatur secara tegas tanpa dapat ditafsirkan lain. Pasal 31 UU 24/2009 secara tegas mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam suatu kontrak yang seluruh atau sebagian pihaknya adalah pihak Indonesia. Dan jika kontrak tersebut sebagian pihaknya adalah pihak asing, maka kontrak tersebut ditulis dalam bahasa nasional pihak-pihak asing bersangkutan dan/atau dalam Bahasa Inggris.
Dalam hal terjadi inkonsistensi atau perbedaan isi perjanjian, dapat disepakati oleh para pihak, versi manakah yang berlaku karena seperti disebutkan dalam penjelasan Pasal 31 ayat (2) UU 24/2009 bahwa semua naskah itu sama aslinya, yakni kekuatan berlakunya sama.

3.                  Kontrak Baku

Kontrak baku artinya kontrak tertulis berupa formulir yang isi, bentuk, serta cara penutupannya telah distandarisasi atau dibakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen (take-it or leave-it contract) yang isi atau ketentuan yang terdapat dalam kontrak baku disebut sebagai klausula baku.
Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.
Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat. Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract model. Misalnya tiket busway, kereta api dan lain sebagainya
Klausula Baku Menurut pasal 1 butir 10 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha atau penyalur produk yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Intinya, si produsen atau pemberi jasa telah menyiapkan perjanjian standar dengan ketentuan umum dan konsumen hanya memiliki dua pilihan, yaitu menyetujui atau menolaknya. Tetapi yang menjadi masalah adalah saat konsumen berada pada posisi terdesak dimana konsumen sangat membutuhkan barang atau jasa sehingga konsumen terpaksa menyanggupinya.
Klausula baku bersumber dari adanya kontrak baku atau perjanjian baku yaitu kontrak tertulis berupa formulir yang isi, bentuk, serta cara penutupannya telah distandarisasi atau dibakukan secara sepihak oleh pelaku usahaha, serta bersifat massal tampa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen (take-it or leave-it contract) yang isi atau ketentuan yang terdapat dalam kontrak baku disebut sebagai klausula baku.
Dalam sejarah lahirnya kontrak baku bersamaan dengan lahirnya konsep negara “walfare state”, dimana pada saat itu muncul paham ekonomi klasik yang dipelopori Adam Smith yang mengagungkan persaingan bebas. Antara paham ekonomi klasik dan persaingan bebas saling mendukung dan berakar pada paham hukum alam. Kedua paham tersebut melihat individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya, disebabkan karena manusia sebagai individu mempergunakan akalnya. Menurut hukum alam individu-individu diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya, untuk mencapai kesejahteraan maka masyarakat yang merupakan kumpulan individu-individu tersebut akan menjadi sejahtera pula. Oleh karena itu untuk mencapai kesejahteraannya individu harus mempunyai kebebasan bersaing dan negara tidak boleh ikut campur tangan. Seiring dengan persaingan bebas tersebut, kebebasan berkontrak merupakan pula prinsip umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas tersebut. Berkenaan dengan paham ekonomi tersebut, para pengusaha bebas mencantumkan berbagai klausula yang memperkecil resiko dan tenggungjawabnya dari segala kerugian/kerusakan yang mungkin ditimbulkannya, dan membebankannya pada pihak yang lebih lemah yaitu konsumen.
Sekitar tahun 1930 asas kebebasan berkontrak menyeret masyarakat Eropa dan seluruh dunia ke dalam jurang penganguran dan kelaparan, menjadikan pemerintah prancis dan negara Eropa lainnya merasa perlu untuk ikut campur tangan dalam kegiatan kontrak yang dilakukan individu dalam masyarakat. Berdasarkan hal ini, pranata hukum kontrak yang sebelumnya dianggap pranata hukum perdata yang bersumber pada asas kebebasan para pihak, setelah Perang Dunia II dan terutama menjelang akhir abad ke-20 sudah banyak diubah oleh peraturan-peraturan Hukum administrasi Negara sehingga Hukum Kontrak dibidang bisnis kini tidak dapat dikatakan lagi sepenuhnya tunduk pada asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata, tetapi sudah banyak dimasuki dan diterobos oleh unsur-unsur kepentingan umum dan hukum Administrasi Negara. Indonesia sebagai bekas jajahan salah satu negara eropa tidak terlepas dari imbas paham-paham ekonomi yang mempengaruhi perkembangan hukum di dunia.
Sampai sekarang perjanjian baku secara teoritis masih mengundang perdebatan dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian. Hal ini mengakibatkan timbulnya pendapat-pendapat mengenai perjanjian baku diantaranya yaitu, Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian adalah sebagai pembentuk undang-undang swasta (Ilegio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.
Pitlo mengolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataanya kebutuhan masyarakat berjalan kearah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Berdasarkan pendapat diatas Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa perjanjian baku tetap merupakan suatu perjanjian para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat di dalam perjanjuan baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang muncul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuai kalusula tersebut merupakan klausula yang dilarang.
Pengertian kebebasan berkontrak dalam penjabaran tersebut diatas bukan berarti sebebas-bebasnya. Dalam hukum Indonesia kebebasan berkontrak dijabarkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yaitu :
1.         Orang bebas memilih dengan siapa melakukan perjanjian;
2.         Bebas mengatur bentuknya;
3.         Bebas mengatur klausula atau isinya;
4.         Bebas melakukan pilihan hukumnya;
5.    Bebas memilih cara penyelesaiannya.
Dari pasal 18 undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dapat diketahui terdapat batasan-batasan dari pencantuman klausula baku dalam kontrak baku yaitu mengenai :
Isi Klausula Baku Menurut Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam suatu perjanjian baku yaitu:
a.             Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.            Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.             Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.            Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.             Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.             Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.            Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.            Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) undang-undang Perlindungan konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu :
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.”
Diharapkan dengan adanya pasal 18 ayat (1) undang-undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.
Letak, Bentuk dan Pengungkapan Klausula Baku
Sesuai dengan pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.
Mengenai letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku dapat juga dilihat dari itikad pelaku usaha sesuai Pasal 7 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.[3]

4.         Kesepakatan dalam Kontrak

Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian. Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) anta pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. Di samping itu, kata sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara yaitu secara lisan, tertulis, dengan tanda, dengan simbol, dan dengan diam-diam.
Berkaitan dengan kesepakatan dan lahirnya perjanjian, Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan beberapa teori mengenai lahirnya perjanjian tersebut, yaitu:
1.      Teori kehendak of will (wilstheorie)
      Menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
2.      Teori Pengiriman (verzentheorie) 
      Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
3.      Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
      Mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima; dan
4.      Teori Kepercayaan (vertrowenstheorie)
      Mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan .
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini:[4]
a.    Paksaan (dwang)
Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihak lain memberikan hak, kewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.
Menurut Sudargo, paksaan (duress) adalah setiap tindakan intimidasi mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat dibuat penuntutan terhadapnya. Akan tetapi jika ancaman kejahatan fisik tersebut merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak diberi sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kelainan mental.

b.   Penipuan (Bedrog)
Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkaian cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.
Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan membuat mereka menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri bukan merupakan penipuan, tetapi hal ini harus disertai dengan tindakan yang menipu. Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam kontrak, seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud atau niat untuk menipu, dan tindakan itu harus merupakan tindakan yang mempunyai maksud jahat – contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin (kelalaian untuk menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu benda bukan merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka). Selain itu tindakan tersebut haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum perjanjian tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat.
Kontrak yang mempunyai unsur penipuan di dalamnya  tidak membuat kontrak tersebut batal demi hukum (null and void) melainkan kontrak tersebut hanya dapat dibatalkan (voidable). Hal ini berarti selama pihak yang dirugikan tidak menuntut ke pengadilan yang berwenang maka kontrak tersebut masih tetap sah.

c.     Kesesatan atau Kekeliruan (Dwaling)
Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan, yang pertama yaitu error in persona, yaitu kekeliruan pada orangnya, contohnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis yang terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Yang kedua adalah error in substantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan karakteristik suatu benda, contohnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang dibelinya tadi adalah lukisan tiruan dari lukisan Basuki Abdullah.
Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas dasar kekeliruan dalam hal mengidentifikasi subjek atau orangnya.

d.     Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheiden)
Penyalahgunaan Keadaan (Undue influence) merupakan suatu konsep yang berasal dari nilai-nilai yang terdapat di pengadilan. Konsep ini sebagai landasan untuk mengatur transaksi yang berat sebelah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pihak yang dominan kepada pihak yang lemah. Penyalahgunaan Keadaan ada ketika pihak yang melakukan suatu perbuatan atau membuat perjanjian dengan cara di bawah paksaan atau pengaruh terror yang ekstrim atau ancaman, atau paksaan penahanan jangka pendek. Ada pihak yang menyatakan bahwa Penyalahgunaan Keadaan adalah setiap pemaksaan yang tidak patut atau salah, akal bulus, atau bujukan dalam keadaan yang mendesak, di mana kehendak seseorang tersebut memiliki kewenangan yang berlebihan, dan pihak lain dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang tak ingin dilakukan, atau akan berbuat sesuatu jika setelahnya dia akan merasa bebas.
Secara umum ada dua macam penyalahgunaan keadaan yaitu: Pertama di mana seseorang menggunakan posisi psikologis dominannya yang digunakan secara tidak adil untuk menekan pihak yang lemah supaya mereka menyetujui sebuah perjanjian di mana sebenarnya mereka tidak ingin menyetujuinya. Kedua, di mana seseorang menggunakan wewenang kedudukan dan kepercayaannya yang digunakan secara tidak adil untuk membujuk pihak lain untuk melakukan suatu transaksi.
Menurut doktrin dan yurisprudensi, ternyata perjanjian-perjanjian yang mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja, pihak yang merasakan telah memberikan pernyataan yang mengandung cacat tersebut dapat memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan dengan ini, 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terdapat cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan.
Persyaratan adanya kata sepakat dalam perjanjian tersebut di dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan istilah agreement atau assent. Section 23 American Restatement (second) menyatakan bahwa hal yang penting dalam suatu transaksi adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lawannya.

5.                  Saksi-Saksi dalam Kontrak

Pada dasarnya kepentingan saksi-saksi dalam suatu kontrak baru terasa pada saat terjadinya sengketa antar pihak yang berkontrak. Karena, selain kontrak yang telah dibuat tadi, saksi-saksi juga merupakan alat bukti dalam perkara perdata.
Menurut pasal 1866 KUH perdata atau pasal 164 RID, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas:
1.     Bukti tulisan
2.     Bukti-bukti dengan saksi-saksi
3.     Persangkaan-persangkaan
4.     Pengakuan
5.     Sumpah
Hal ini berarti dalam perkara perdata, saksi-saksi merupakan alat bukti yang kedua setelah bukti tulisan (misalnya: surat-surat perjanjian/kontrak yang di buat para pihak).
Yang perlu diingat perihal saksi-saksi dalam suatu kontrak adalah:[5]
1.            Bahwa saksi-saksi, terbatas hanya pada peristiwa penandatanganan suatu kontrak, yaitu mengenai waktu dan tempat serta pihak yang membubuhkan tanda tangannya pada kontrak di maksud. Saksi-saksi tidak mengetahui apa yang terjadi atau apa yang di lakukan para pihak sebelum dan sesudah penandatanganan kontrak tersebut di laksanakan.
2.            Bahwa oleh karena saksi-saksi nantinya harus hadir pada persidangan dalam sengketa tersebut, maka ia harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh KUH Perdata mengenai pembuktian dengan saksi-saksi, yaitu:
a.       Dianggap sebagai tidak cakap menjadi saksi dan tidak boleh didengar ialah para anggota keluarga dan semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak, begitupula suami atau istri, sekalipun setelahnya suatu perceraiaan (Pasal 1910).
b.      Selain itu saksi-saksi haruslah memenuhi unsur-unsur kecakapan melakukan perbuatan hukum sebagai mana syarat-syarat yang harus dipenuhi orang-orang yang akan melakukan atau menandatangani kontrak.
3.            Bahwa “satu saksi bukanlah saksi”, artinya saksi harus lebih dari satu orang atau lebih. Sebagai mana yang di syaratkan oleh pasal 1905 KUH Perdata bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa suatu alat bukti yang lain, dimuka pengadilan tidak boleh di percaya.

6.                  Ingkar Janji (Wanpreastasi)

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian.
Menurut J Satrio: “Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.
Bentuk-bentuk Wanprestasi:
1.   Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2.   Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3.   Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4.   Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:
1.      Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri.
2.      Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.

Isi Peringatan:
1.      Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi;
2.      Dasar teguran;
3.      Tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi. 
Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata.[6]

Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi:
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:
  1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
  2. Pembatalan perjanjian;
  3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4.      Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut[7] :
1.         Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2.         Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3.         Membayar ganti rugi;
4.         Membatalkan perjanjian; dan
5.         Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Ganti rugi yang dapat dituntut:
1.      Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi itu”. (Pasal 1243  KUHPerdata). “Ganti rugi terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata).
a.       Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak.
b.      Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
c.       Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur.
2.      Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji” (Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga atau sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat.
3.      Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan hanya karena kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi karena keadaan memaksa.
4.      Kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki.
5.      Kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.

C.        PENUTUP

            Tiada hari tanpa kontrak, kontrak dibuat oleh berjuta individu atau pelaku bisnis sebagai rule of the game tentang hak dan kewajiban yang seimbang. Dalam bisnis, tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah tercapainya keuntungan masa depan. Tidak lazim bahwa suatu kontrak berisi hal-hal yang buruk dan merugikan para pihak. Agar keuntungan masa depan dapat terwujud, ada beberapa upaya yang hendaknya dilakukan untuk itu. Upaya tersebut adalah hal-hal yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas.
















DAFTAR PUSTAKA

H.R. Daeng Naja, S.H., M.H., M.Kn, Contract Drafting, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2006), Cetakan Kedua.

Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), Cet. Kesatu.

Tersedia di https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/hukum-kontrak/ Diakses pada bulan September 2015.


Tersedia di http://goldencontract.blogspot.co.id/2007/11/kontrak-baku.html Diakses pada bulan September 2015.





[1] H.R. Daeng Naja, S.H., M.H., M.Kn, Contract Drafting, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2006), Cetakan Kedua, hlm. 213-215.

[2] H.R. Daeng Naja, S.H., M.H., M.Kn, Contract Drafting, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2006), Cetakan Kedua, hlm. 221.
[7] Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), Cet. Kesatu.

Komentar

  1. The Casino That Had the Best Pandemic Ever
    The 시흥 출장안마 Casino That 상주 출장마사지 Had 나비효과 the Best Pandemic Ever. The Casino That Had the Best Pandemic Ever. The Casino That Had the Best Pandemic Ever. The Casino That Had 태백 출장샵 the Best Pandemic 제주도 출장안마 Ever. The Casino That Had

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

aplikasi fiqh perbankan syariah dalam akad wadiah

Pernyataan Standar Akuntansi Syariah (PSAK) Perbankan Syariah