TAHAP-TAHAP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK
TAHAP-TAHAP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK
A. PENDAHULUAN
Perancangan Kontrak (Contract
Drafting) tidak sama dengan Hukum Perjanjian (Law of Contract). Dalam perancangan kontrak adalah bagaimana kita
mewujudkan aspirasi dalam bahasa hukum sehingga kata demi kata dan kalimat yang
tertuang dapat dibuktikan di mata hukum atau persidangan. Kalimat yang tertuang
jangan berupa kalimat yang ambigu, tidak jelas, tidak limitatif, dan tidak
tegas. Hal yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara mempersiapkan
kontrak, bahasa dalam kontrak, kontrak baku, kesepakatan dalam kontrak,
saksi-saksi dalam kontrak, dan ingkar janji dalam kontrak atau disebut
wanprestasi.
B. PEMBAHASAN
1.
Persiapan
Kontrak
Mengenai persiapan kontrak sebagian ahli hukum
menganjurkan adanya negosiasi sebelum masuk ke dalam perbuatan kontrak. Untuk
itu, beberapa asumsi yang harus dipegang dalam perancangan kontrak antara lain
adalah :
1.
Para pihak menandatangani kontrak karena
memang benar-benar ingin melakukannya dan bukan ingin berperkara di pengadilan.
2.
Kontrak yang di
buat harus memuaskan para pihak dan para pihak akan melaksanakan kontrak itu.
Perlu
dipertimbangkan kemungkinan adanya wanprestasi atau tidak dapat dilaksanakannya
objek kontrak. Apa yang harus dilakukan oleh pihak lain apabila adalah satu
pihak memang melakukan wanprestasi atau apa upaya yang ditempuh pihak yang
menderita kerugian akibat tidak dapat dilaksanakannya objek kontrak. Disamping
itu dalam perjalanan transaksi mungkin saja terjadi perbedaan penafsiran akan isi
kontrak. Hal-hal tersebut akan menyebabnya terjadinya konflik diantara para
pihak.
Dalam
mempersiapkan kontrak perlu diingat dua prinsip dalam hukum kontrak:
1. Beginselen der
contractsvrijheid atau party autonomy yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang
mereka inginkan ( tentunya harus sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum)
2. Pacta sunt
servanda yaitu sekali mereka sepakat, kontrak itu berlaku
mengikat sebagai mana undang-undang.
Apabila
suatu rancangan kontrak disetujui oleh kedua belah pihak kontrak itu dapat
ditandatangani. Jika kontrak telah di tandatangani para pihak terikat untuk
melaksanakan prestasi dan kontrak perstasi. Apabila kedua belah pihak
melaksanakan seperti apa yang tertuang di dalam isi kontrak, kontrak itu di
anggap sesesai.[1]
2.
Bahasa
dalam Kontrak
Sebagaimana
diketahui bahwa bahasa yang digunakan sehari hari penuh dinamika (dinamis), artinya
bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu kewaktu, baik menyangkut
kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia.
Oleh karenanya, para pembuat kontrak juga harus memiliki pengetahuan yang luas
terutama bagaimana mengatasi masalah dibidang bahasa ini, dengan mengikuti
perkembangan bahasa, terutama bahasa hukum yang dipergunakan dalam suatu
kontrak.
Soal
penggunaan bahasa ini, termasuk istilah asing dan banyaknya ditemukan kalimat
panjang dalam aturan hukum yang menyebabkan sulit untuk mencari subjek, predikat
atau objeknya, menurut Arief Sioharta, ini sebenarnya soal teknik legal drafting yang masih belum baik. Ia belum yakin benar dengan apa
yang dihasilkan oleh si legal drafter-nya.
Apalagi jika membaca bahasa notaris, rumitnya tidak karuan. Maksud dan tujuan
utamanya demi kepastian hukum, tetapi karena pengelolaan bahasanya kurang
bagus, maka jadinya sulit dipahami. Di indonesia, perhatian terhadap soal legal drafting baru muncul sekitar tahun
1980 an. antara lain dengan mengirim sekitar 200 orang keluar negri untuk
belajar mengenai legal drafting. Sampai
saat ini kemampuan tersebut terus dikembangkan namun demikian, hasilnya pun
belum bisa dikatakan bagus.
Mengenai
bahasa kontrak ini, Munir fuadi secara gamblang menguraikan beberapa
karekteristik dari bahasa kontrak, antara lain[2]:
1. Berlebihan
Sering kali bahasa kontrak itu
terlalu panjang dan berbelit-belit sehingga terkesan berlebihan. Sampai batas
tertentu, hal itu masih di terima mempunyai tujuan yang jelas, maka sebaiknya
di hindari.
2. Pilihan
kata yang tegas dan ekstrim
Pilihan kata dan kontrak cenderung
tegas, ekstrim bahkan bombastis. Hal ini di lakukan agar tertutup kemungkinan
penafsiran macam-macam dari kata tersebut sehingga merugikan salah satu pihak.
Dan dapat di pertanggungjawabkan dari segi pengertiannya.
3. Acuan
yang jelas
Agar tidak timbul penafsiran
ambigu, maka setiap kata yang mempunyai acuan pada kata atau kalimat lain harus
jelas kata tersebut me-refer ke mana.
Dalam hal ini, di dalam kontrak sering muncul dalam tiga hal, yaitu kata ganti,
kata sambung dan atau kata acuan lainnya
4. Bahas
terjemahaan
Dalam kontrak sering terdapat
kata-kata yang merupakan terjemahan, yang kadang-kadang memang diperlukan,
terutama karena masih belum ada pedoman katanya dalam bahasa Indonesia.
5. Istilah
khusus dalam hokum/kontrak
Banyak kata-kata yang khusus dipakai
dalam hukum atau kontrak yang ternyata jarang di pergunakan dalam bahasa
Indonesia sehari-hari, seperti force
majeure, wanprestasi dan yang lainnya.
6. Mempermudah
operasionalisasi kontrak
Penting di perhatikan adalah
bagaimana agar pelaksanaan kontrak di kemudian hari tidak mendapat benturan
yang berart, baik karena penggunaan bahasa yang tidak benar ataupun karena
konsep tertentu yang tidak jelas.
7. Mecari
pedoman walaupun kabur
Sering juga dalam kontrak di
pergunakan istilah yang lebih merupakan kompromi dari dua kepentingan,tetapi
mempunyai makna yang kabur.
8. Agar
khidmat atau menyeramkan
Dalam kontrak selalu ada usaha
untuk membuat kesan seolah-olah perjanjian tersebut mesti dihormati atau
ditakuti, seperti frase: ”di tandatangani dengan materai yang cukup”.
Mengenai penggunaan bahasa dalam suatu perjanjian kerjasama
dengan pihak asing, berdasarkan Pasal
31 UU No. 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menyatakan bahwa :
(1) Bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga
negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau
perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa
nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Lebih jauh dalam penjelasan pasal
tersebut disebutkan bahwa:
(1) Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian
internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh
hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi
internasional, atau subjek hukum internasional lain.
Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara
lain, dan atau bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan organisasi
internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.
(2) Dalam perjanjian bilateral, naskah
perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain
tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.”
Pengaturan mengenai penggunaan Bahasa Indonesia dalam
perjanjian kerjasama dengan pihak asing telah diatur secara tegas tanpa dapat
ditafsirkan lain. Pasal 31 UU
24/2009 secara tegas mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam suatu
kontrak yang seluruh atau sebagian pihaknya adalah pihak Indonesia. Dan jika
kontrak tersebut sebagian pihaknya adalah pihak asing, maka kontrak tersebut
ditulis dalam bahasa nasional pihak-pihak asing bersangkutan dan/atau dalam
Bahasa Inggris.
Dalam hal terjadi inkonsistensi atau perbedaan isi
perjanjian, dapat disepakati oleh para pihak, versi manakah yang berlaku karena
seperti disebutkan dalam penjelasan Pasal
31 ayat (2) UU 24/2009 bahwa semua naskah itu sama aslinya, yakni
kekuatan berlakunya sama.
3.
Kontrak
Baku
Kontrak baku artinya kontrak
tertulis berupa formulir yang isi, bentuk, serta cara penutupannya telah
distandarisasi atau dibakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, serta bersifat
massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen (take-it
or leave-it contract) yang isi atau ketentuan yang terdapat dalam kontrak baku
disebut sebagai klausula baku.
Perjanjian baku sepihak, adalah
perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam
perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya
mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya
terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
Perjanjian baku yang ditetapkan oleh
pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap
perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas
tanah.
Perjanjian baku yang ditentukan di
lingkungan notaris atau advokat. Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula
disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan
notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini
disebutkan contract model. Misalnya
tiket busway, kereta api dan lain sebagainya
Klausula Baku Menurut pasal 1 butir
10 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan
klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha atau penyalur
produk yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Intinya, si produsen atau pemberi jasa telah
menyiapkan perjanjian standar dengan ketentuan umum dan konsumen hanya memiliki
dua pilihan, yaitu menyetujui atau menolaknya. Tetapi yang menjadi masalah
adalah saat konsumen berada pada posisi terdesak dimana konsumen sangat
membutuhkan barang atau jasa sehingga konsumen terpaksa menyanggupinya.
Klausula baku bersumber dari adanya
kontrak baku atau perjanjian baku yaitu kontrak tertulis berupa formulir yang
isi, bentuk, serta cara penutupannya telah distandarisasi atau dibakukan secara
sepihak oleh pelaku usahaha, serta bersifat massal tampa mempertimbangkan
perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen (take-it or leave-it contract) yang
isi atau ketentuan yang terdapat dalam kontrak baku disebut sebagai klausula
baku.
Dalam sejarah lahirnya kontrak baku
bersamaan dengan lahirnya konsep negara “walfare
state”, dimana pada saat itu muncul paham ekonomi klasik yang dipelopori
Adam Smith yang mengagungkan persaingan bebas. Antara paham ekonomi klasik dan
persaingan bebas saling mendukung dan berakar pada paham hukum alam. Kedua
paham tersebut melihat individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik
dan cara mencapainya, disebabkan karena manusia sebagai individu mempergunakan
akalnya. Menurut hukum alam individu-individu diberi kebebasan untuk menetapkan
langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya, untuk mencapai kesejahteraan maka
masyarakat yang merupakan kumpulan individu-individu tersebut akan menjadi
sejahtera pula. Oleh karena itu untuk mencapai kesejahteraannya individu harus
mempunyai kebebasan bersaing dan negara tidak boleh ikut campur tangan. Seiring
dengan persaingan bebas tersebut, kebebasan berkontrak merupakan pula prinsip
umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas tersebut. Berkenaan dengan
paham ekonomi tersebut, para pengusaha bebas mencantumkan berbagai klausula
yang memperkecil resiko dan tenggungjawabnya dari segala kerugian/kerusakan
yang mungkin ditimbulkannya, dan membebankannya pada pihak yang lebih lemah
yaitu konsumen.
Sekitar tahun 1930 asas kebebasan
berkontrak menyeret masyarakat Eropa dan seluruh dunia ke dalam jurang
penganguran dan kelaparan, menjadikan pemerintah prancis dan negara Eropa
lainnya merasa perlu untuk ikut campur tangan dalam kegiatan kontrak yang
dilakukan individu dalam masyarakat. Berdasarkan hal ini, pranata hukum kontrak
yang sebelumnya dianggap pranata hukum perdata yang bersumber pada asas
kebebasan para pihak, setelah Perang Dunia II dan terutama menjelang akhir abad
ke-20 sudah banyak diubah oleh peraturan-peraturan Hukum administrasi Negara
sehingga Hukum Kontrak dibidang bisnis kini tidak dapat dikatakan lagi
sepenuhnya tunduk pada asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata, tetapi
sudah banyak dimasuki dan diterobos oleh unsur-unsur kepentingan umum dan hukum
Administrasi Negara. Indonesia sebagai bekas jajahan salah satu negara eropa
tidak terlepas dari imbas paham-paham ekonomi yang mempengaruhi perkembangan hukum
di dunia.
Sampai sekarang perjanjian baku
secara teoritis masih mengundang perdebatan dalam kaitannya dengan asas
kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian. Hal ini mengakibatkan
timbulnya pendapat-pendapat mengenai perjanjian baku diantaranya yaitu, Sluijter
mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha dalam perjanjian adalah sebagai pembentuk undang-undang swasta
(Ilegio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian
itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.
Pitlo mengolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataanya kebutuhan masyarakat berjalan kearah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Berdasarkan pendapat diatas Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa perjanjian baku tetap merupakan suatu perjanjian para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat di dalam perjanjuan baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang muncul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuai kalusula tersebut merupakan klausula yang dilarang.
Pengertian kebebasan berkontrak dalam penjabaran tersebut diatas bukan berarti sebebas-bebasnya. Dalam hukum Indonesia kebebasan berkontrak dijabarkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yaitu :
Pitlo mengolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataanya kebutuhan masyarakat berjalan kearah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Berdasarkan pendapat diatas Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa perjanjian baku tetap merupakan suatu perjanjian para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat di dalam perjanjuan baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang muncul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuai kalusula tersebut merupakan klausula yang dilarang.
Pengertian kebebasan berkontrak dalam penjabaran tersebut diatas bukan berarti sebebas-bebasnya. Dalam hukum Indonesia kebebasan berkontrak dijabarkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yaitu :
1.
Orang bebas memilih dengan siapa
melakukan perjanjian;
2.
Bebas mengatur bentuknya;
3.
Bebas mengatur klausula atau isinya;
4.
Bebas melakukan pilihan hukumnya;
5. Bebas memilih cara
penyelesaiannya.
Dari pasal 18 undang-undang No 8
tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dapat diketahui terdapat
batasan-batasan dari pencantuman klausula baku dalam kontrak baku yaitu
mengenai :
Isi Klausula Baku Menurut Pasal 18
Ayat (1) menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam
suatu perjanjian baku yaitu:
a.
Menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
b.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d.
Menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e.
Mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.
Memberi hak kepada pelaku usaha
untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang
menjadi obyek jual beli jasa;
g.
Menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;
h.
Menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam
penjelasan pasal 18 ayat (1) undang-undang Perlindungan konsumen menyebutkan
tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu :
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan
konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.”
Diharapkan dengan adanya pasal 18
ayat (1) undang-undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari
kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku
usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.
Letak, Bentuk dan Pengungkapan
Klausula Baku
Sesuai dengan pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.
Mengenai letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku dapat juga dilihat dari itikad pelaku usaha sesuai Pasal 7 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.[3]
Sesuai dengan pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.
Mengenai letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku dapat juga dilihat dari itikad pelaku usaha sesuai Pasal 7 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.[3]
4. Kesepakatan
dalam Kontrak
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat
terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian. Pada dasarnya kata
sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam
perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya
jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat
sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring)
anta pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte).
Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur
yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. Di samping itu, kata
sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara yaitu secara lisan, tertulis, dengan
tanda, dengan simbol, dan dengan diam-diam.
Berkaitan dengan kesepakatan dan lahirnya perjanjian, Mariam
Darus Badrulzaman mengemukakan beberapa teori mengenai lahirnya perjanjian
tersebut, yaitu:
1. Teori kehendak of will (wilstheorie)
Menjelaskan
bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan,
misalnya dengan menuliskan surat.
2.
Teori Pengiriman (verzentheorie)
Mengajarkan
bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh
pihak yang menerima tawaran.
3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Mengajarkan bahwa
pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah
diterima; dan
4. Teori Kepercayaan (vertrowenstheorie)
Mengajarkan
bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak
diterima oleh pihak yang menawarkan .
Suatu perjanjian dapat mengandung
cacat kehendak atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang
disebut di bawah ini:[4]
a. Paksaan (dwang)
Setiap tindakan yang tidak adil atau
ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan
pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar
undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah
satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan
agar pada akhirnya pihak lain memberikan hak, kewenangan ataupun hak
istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman
penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah,
atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan
secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang,
seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam
keadaan takut, dan lain-lain.
Menurut Sudargo, paksaan (duress)
adalah setiap tindakan intimidasi mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan
fisik dan hal ini dapat dibuat penuntutan terhadapnya. Akan tetapi jika ancaman
kejahatan fisik tersebut merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum
maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak diberi sanksi hukum, dan dinyatakan
bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan
oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai
kelainan mental.
b.
Penipuan (Bedrog)
Penipuan (fraud)
adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas
menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada
penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan
kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan
ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya
tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran
yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada
serangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtselen),
serangkaian cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat
menipu.
Dengan kata lain, penipuan adalah
tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian
itu dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan
membuat mereka menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri
bukan merupakan penipuan, tetapi hal ini harus disertai dengan tindakan yang menipu.
Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam
kontrak, seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud
atau niat untuk menipu, dan tindakan itu harus merupakan tindakan yang
mempunyai maksud jahat – contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin
(kelalaian untuk menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada
suatu benda bukan merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud
jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka). Selain itu tindakan tersebut
haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat
perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: (1) merupakan
tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk kasus kelalaian dalam
menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum perjanjian
tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani
perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat.
Kontrak yang mempunyai unsur
penipuan di dalamnya tidak membuat kontrak tersebut batal demi hukum (null
and void) melainkan kontrak tersebut hanya dapat dibatalkan (voidable).
Hal ini berarti selama pihak yang dirugikan tidak menuntut ke pengadilan yang
berwenang maka kontrak tersebut masih tetap sah.
c.
Kesesatan atau Kekeliruan
(Dwaling)
Dalam hal ini, salah satu pihak atau
beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau subjek yang
terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan, yang pertama yaitu error
in persona, yaitu kekeliruan pada orangnya, contohnya, sebuah perjanjian
yang dibuat dengan artis yang terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut
dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang
sama. Yang kedua adalah error in substantia yaitu kekeliruan yang
berkaitan dengan karakteristik suatu benda, contohnya seseorang yang membeli
lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian setelah sampai di rumah orang itu baru
sadar bahwa lukisan yang dibelinya tadi adalah lukisan tiruan dari lukisan
Basuki Abdullah.
Di dalam kasus yang lain, agar suatu
perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang lebih harus mengetahui bahwa rekannya
telah membuat perjanjian atas dasar kekeliruan dalam hal mengidentifikasi
subjek atau orangnya.
d. Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van
omstandigheiden)
Penyalahgunaan Keadaan (Undue
influence) merupakan suatu konsep yang berasal dari nilai-nilai yang
terdapat di pengadilan. Konsep ini sebagai landasan untuk mengatur transaksi
yang berat sebelah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pihak yang dominan
kepada pihak yang lemah. Penyalahgunaan Keadaan ada ketika pihak yang melakukan
suatu perbuatan atau membuat perjanjian dengan cara di bawah paksaan atau
pengaruh terror yang ekstrim atau ancaman, atau paksaan penahanan jangka
pendek. Ada pihak yang menyatakan bahwa Penyalahgunaan Keadaan adalah setiap
pemaksaan yang tidak patut atau salah, akal bulus, atau bujukan dalam keadaan
yang mendesak, di mana kehendak seseorang tersebut memiliki kewenangan yang
berlebihan, dan pihak lain dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang tak ingin
dilakukan, atau akan berbuat sesuatu jika setelahnya dia akan merasa bebas.
Secara umum ada dua macam
penyalahgunaan keadaan yaitu: Pertama di mana seseorang menggunakan posisi
psikologis dominannya yang digunakan secara tidak adil untuk menekan pihak yang
lemah supaya mereka menyetujui sebuah perjanjian di mana sebenarnya mereka
tidak ingin menyetujuinya. Kedua, di mana seseorang menggunakan wewenang
kedudukan dan kepercayaannya yang digunakan secara tidak adil untuk membujuk
pihak lain untuk melakukan suatu transaksi.
Menurut doktrin dan yurisprudensi,
ternyata perjanjian-perjanjian yang mengandung cacat seperti itu tetap mengikat
para pihak, hanya saja, pihak yang merasakan telah memberikan pernyataan yang
mengandung cacat tersebut dapat memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan
dengan ini, 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian
terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian
itu terdapat cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian
itu dapat dibatalkan.
Persyaratan adanya kata sepakat
dalam perjanjian tersebut di dalam sistem hukum Common Law dikenal
dengan istilah agreement atau assent. Section 23 American
Restatement (second) menyatakan bahwa hal yang penting dalam suatu
transaksi adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan persetujuannya sesuai
dengan pernyataan pihak lawannya.
5.
Saksi-Saksi
dalam Kontrak
Pada
dasarnya kepentingan saksi-saksi dalam suatu kontrak baru terasa pada saat
terjadinya sengketa antar pihak yang berkontrak. Karena, selain kontrak yang
telah dibuat tadi, saksi-saksi juga merupakan alat bukti dalam perkara perdata.
Menurut
pasal 1866 KUH perdata atau pasal 164 RID, alat-alat bukti dalam perkara
perdata terdiri atas:
1.
Bukti tulisan
2.
Bukti-bukti dengan saksi-saksi
3.
Persangkaan-persangkaan
4.
Pengakuan
5.
Sumpah
Hal
ini berarti dalam perkara perdata, saksi-saksi merupakan alat bukti yang kedua
setelah bukti tulisan (misalnya: surat-surat perjanjian/kontrak yang di buat
para pihak).
Yang
perlu diingat perihal saksi-saksi dalam suatu kontrak adalah:[5]
1.
Bahwa
saksi-saksi, terbatas hanya pada peristiwa penandatanganan suatu kontrak, yaitu
mengenai waktu dan tempat serta pihak yang membubuhkan tanda tangannya pada
kontrak di maksud. Saksi-saksi tidak mengetahui apa yang terjadi atau apa yang
di lakukan para pihak sebelum dan sesudah penandatanganan kontrak tersebut di
laksanakan.
2.
Bahwa oleh karena
saksi-saksi nantinya harus hadir pada persidangan dalam sengketa tersebut, maka
ia harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh KUH Perdata mengenai pembuktian
dengan saksi-saksi, yaitu:
a.
Dianggap sebagai
tidak cakap menjadi saksi dan tidak boleh didengar ialah para anggota keluarga
dan semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak, begitupula suami atau
istri, sekalipun setelahnya suatu perceraiaan (Pasal 1910).
b.
Selain itu
saksi-saksi haruslah memenuhi unsur-unsur kecakapan melakukan perbuatan hukum
sebagai mana syarat-syarat yang harus dipenuhi orang-orang yang akan melakukan
atau menandatangani kontrak.
3.
Bahwa “satu saksi
bukanlah saksi”, artinya saksi harus lebih dari satu orang atau lebih. Sebagai
mana yang di syaratkan oleh pasal 1905 KUH Perdata bahwa keterangan seorang
saksi saja tanpa suatu alat bukti yang lain, dimuka pengadilan tidak boleh di
percaya.
6.
Ingkar
Janji (Wanpreastasi)
Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena
kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian.
Menurut J Satrio: “Suatu keadaan di
mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya
dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.
Bentuk-bentuk Wanprestasi:
1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu
(terlambat);
3. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang
diperjanjikan; dan
4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Tata cara menyatakan
debitur wanprestasi:
1.
Sommatie: Peringatan
tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri.
2.
Ingebreke Stelling: Peringatan
kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.
Isi Peringatan:
1.
Teguran kreditur supaya debitur
segera melaksanakan prestasi;
2.
Dasar teguran;
3.
Tanggal paling lambat untuk memenuhi
prestasi.
Somasi minimal telah dilakukan
sebanyak tiga kali oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu tidak
diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan
pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi
adalah teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor)
agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati
antara keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal
1243 KUHPerdata.[6]
Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi:
Akibat hukum dari debitur
yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:
- Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
- Pembatalan perjanjian;
- Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4.
Membayar biaya perkara, kalau sampai
diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut
diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur
dalam menghadapi debitur
yang wanprestasi ada lima
kemungkinan sebagai berikut[7]
:
1.
Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2.
Memenuhi perjanjian disertai
keharusan membayar ganti rugi;
3.
Membayar ganti rugi;
4.
Membatalkan perjanjian; dan
5.
Membatalkan perjanjian disertai
dengan ganti rugi.
Ganti rugi yang dapat dituntut:
1. Debitur
wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi
prestasi itu”. (Pasal 1243 KUHPerdata). “Ganti rugi terdiri dari biaya,
rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246 KUHPerdata).
a.
Biaya adalah
segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
suatu pihak.
b.
Rugi adalah
kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian si debitur.
c.
Bunga adalah
kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau dihitung
oleh kreditur.
2. Ganti rugi
harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji” (Pasal
1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga atau sepatutnya diduga pada saat
waktu perikatan dibuat.
3. Ada
kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan hanya karena
kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi karena keadaan
memaksa.
4. Kesengajaan
adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki.
5. Kelalaian
adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya
akibat yang merugikan orang lain.
C. PENUTUP
Tiada hari tanpa kontrak, kontrak dibuat oleh
berjuta individu atau pelaku bisnis sebagai rule
of the game tentang hak dan kewajiban yang seimbang. Dalam bisnis,
tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah tercapainya keuntungan masa depan.
Tidak lazim bahwa suatu kontrak berisi hal-hal yang buruk dan merugikan para
pihak. Agar keuntungan masa depan dapat terwujud, ada beberapa upaya yang
hendaknya dilakukan untuk itu. Upaya tersebut adalah hal-hal yang telah
dipaparkan dalam pembahasan di atas.
DAFTAR
PUSTAKA
H.R.
Daeng Naja, S.H., M.H., M.Kn, Contract
Drafting, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2006), Cetakan Kedua.
Atang
Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2011), Cet. Kesatu.
Tersedia di https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/hukum-kontrak/ Diakses pada bulan
September 2015.
Tersedia di
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5010cb6005182/fungsi-saksi-dalam-pembuktian-perjanjian-bawah-tangan Diakses pada bulan
September 2015.
Tersedia di
http://goldencontract.blogspot.co.id/2007/11/kontrak-baku.html Diakses pada bulan
September 2015.
Tersedia di
https://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/wanprestasi-dalam-perjanjian/ Diakses pada bulan September 2015.
[1] H.R. Daeng Naja,
S.H., M.H., M.Kn, Contract Drafting, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti,2006), Cetakan Kedua, hlm. 213-215.
[2] H.R. Daeng Naja,
S.H., M.H., M.Kn, Contract Drafting, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti,2006), Cetakan Kedua, hlm. 221.
[7]
Atang
Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Syariah,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2011), Cet. Kesatu.
The Casino That Had the Best Pandemic Ever
BalasHapusThe 시흥 출장안마 Casino That 상주 출장마사지 Had 나비효과 the Best Pandemic Ever. The Casino That Had the Best Pandemic Ever. The Casino That Had the Best Pandemic Ever. The Casino That Had 태백 출장샵 the Best Pandemic 제주도 출장안마 Ever. The Casino That Had