MORATORIUM PEMBAYARAN HUTANG (INZHAR AD-DAIN)


MORATORIUM PEMBAYARAN HUTANG
(INZHAR AD-DAIN)

A.                Pengertian

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Moratorium secara bahasa berarti penundaan atau penangguhan. Namun secara konteks biasanya digunakan dalam penangguhan atau pembayaran utang didasarkan pada undang-undang agar dapat mencegah krisis keuangan yang makin hebat.
Adapun secara istilah Moratorium bisa didefinisikan sebagai suatu proses pemberian tangguh atau penundaan yang dilakukan oleh pemilik piutang kepada penghutang dalam jangka tempo tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Kalau kita kaji di dalam al Qur’an maka akan kita dapati ada satu ayat yang secara khusus menyinggung moratorium dan satu ayat pokok yang menerangkan tentang utang- piutang yang secara implisit menerangkan adab-adab terkait dengan moratorium.
Dalam al-Quran surat al Baqarah ayat 280 Allah berfirman yang artinya:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Ibnu Jarir ath Thobari dalam tafsirnya menyebutkan beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat tersebut. Dari riwayat yang ada ayat tersebut turun berkaitan tentang riba. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan utang-piutang. Namun beliau menyimpulkan sebagai berikut :
“ Yang benar ayat ini berkaitan dengan orang-orang jahiliyyah yang kemudian masuk Islam dan mempunyai  piutang sedangkan pada waktu itu mereka membungakan uang mereka. Ketika awal mereka masuk Islam perkara tersebut belum tunai. Maka Alloh perintahkan untuk meninggalkan apa yang berbau riba setelah mereka masuk Islam. Kemudian hanya mengambil uang pokok tanpa tambahan bunga serta memberikan opsi penagguhan (Moratorium) dalam pengembalian uang pokok kepada mereka yang berada dalam kesusahan membayar hutang.”

Dalam menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir berkata:

 “Allah SWT memerintahkan bersabar kepada pemilik piutang ketika mendapati orang tua orang yang berhutang padanya dalam kondisi kesusahan untuk pembayaran hutang seraya berkata: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan” Maksudnya yaitu kita diperintahkan memberikan kelapangan hutang. Tidak seperti apa yang dilakukan di masa jahiliyah yaitu seseorang di antara mereka berkata kepada orang yang berutang kepadanya, "Jika masa pelunasan utangmu telah tiba, maka adakalanya kamu melunasinya atau kamu menambahkan bunganya.”

Dari penjelasan tafsir dari ayat tersebut jelas bahwa di dalam al al qur’an melarang membungakan uang dalam utang piutang dan itu merupakan riba yangg berkembang di zaman jahiliyyah.
Hal ini sebagaimana dengan kaidah dalam ushul fiqih.

كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba.”

Kemudian Allah berfirman dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 282 yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan (utang -piutang), hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Ayat ini sering disebut oleh para ulama dengan ayat ad Dain (utang-piutang). Dan hakikat dari hutang adalah sebagai berikut.

“ Suatu ibarat dari segala bentuk muamalah dimana salah satu pihak menyerahkan kepada pihak lain berupa uang sedangkan uang tersebut bagi pihak yang diserahkan menjadi tanggungannya yang akan dikembalikan (dibayar) secara tertunda pada temponya.

Berkaitan dengan ayat ini Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya:

هذا إرشاد منه تعالى لعباده المؤمنين إذا تعاملوا بمعاملات مؤجلة أن يكتبوها، ليكون ذلك أحفظ لمقدارها وميقاتها، وأضبط للشاهد فيها، وقد نبه على هذا في آخر الآية حيث قال: { ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا }

“Hal ini merupakan petunjuk dari Allah SWT buat hamba-hamba-Nya yang mukmin apabila mereka mengadakan muamalah secara tidak tunai, yaitu hendaklah mereka mencatatkannya; karena catatan itu lebih memelihara jumlah barang dan masa pembayarannya serta lebih tegas bagi orang yang menyaksikannya. Hikmah ini disebutkan dengan jelas dalam akhir ayat, yaitu melalui firman-Nya:“ Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih dekat kepada tidak' (menimbulkan) keraguan kalian.”  (Al-Baqarah: 282).

Adapun Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan banyak faidah dari ayat ini yang seharusnya diketahui bagi orang-orang yang terlibat dalam utang piutang, yaitu sebagai berikut :
1.            Dibolehkan muamalah dengan utang-piutang baik utang secara murni maupun dalam pembelian secara kredit.
2.            Wajib menentukan waktu tempo pembayaran dari utang tersebut.
3.            Apa bila waktu tempo pembayaran hutang tidak ditentukan maka hal tersebut tidak halal karena merupakan ghoror (adanya unsur penipuan/keculasan).
4.            Perintah Alloh kepada notulen agar mencatat orang yang saling berhutang dengan adil tidak condong karena kekerabatan dan tidak mendzolimi karena kebencian.
5.            Bahwasanya notulensi utang –piutang antar kedua belah pihak merupakan sebaik-baik amal dan merupakan bentuk perbuatan ihsan kepada keduanya. Dan didalamnya menjaga hak-hak kedua belah pihak.
6.            Bahwasanya notulen wajib mengetahui keadilan dan terkenal sebagai seorang yang berperilaku adil.
7.            Pihak yang meminta pencatatan adalah pihak  yang berhutang.
8.            Bahwasanya persaksian dua orang wanita dalam masalah utang setara dengan persaksian satu laki-laki. Hal ini adalah dalam persaksian yang menyangkut perkara duniawi. Adapun dalam masalah din seperti periwayatan, berfatwa maka kesaksian perempuan setara dengan laki-laki
9.            Tidak boleh mengambil upah dalam penulisan dan kesaksian utang karena hal tersebut merupakan perkara yang telah di wajibkan Alloh. Dan hal tersebut merupakan keburukan bagi 2 pihak yang saling bertentangan.
10.        Bahwasanya melukai atau mencederai saksi dan notulen maka hal tersebut termasuk tindak kefasikan dll.

Banyak sekali hadist nabi saw yang menjelaskan tentang Moratorium dalam pembayaran hutang diantaranya adalah:
Hadits Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma dalam riwayat al Bukhori dan Muslim:

عن ابن عباس، قال: قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة وهم يُسْلفُون في الثمار السنتين والثلاث، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من أسلف فليسلف في كيل معلوم، ووزن معلوم، إلى أجل معلوم".

“Dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, para penduduknya telah terbiasa saling mengutangkan buah-buahan untuk masa satu tahun, dua tahun, sampai tiga tahun. Maka Rasulullah Saw. bersabda:“ Barang siapa yang berutang, maka hendaklah ia berutang dalam takaran yang telah dimaklumi dan dalam timbangan yang telah dimaklumi untuk waktu yang ditentukan.”

Hadits riwayat ath Thobroni dari Abu Umamah (yaitu As'ad ibnu Zurarah), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"من سره أن يظله الله يوم لا ظل إلا ظله، فَلْيُيَسِّر على معسر أو ليضع عنه"
“ Barang siapa yang ingin mendapat naungan dari Allah pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, maka hendaklah ia memberikan kemudahan kepada orang yang dalam kesulitan atau memaafkan utangnya.” (HR. Ath-Thabrani)

Hadits riwayat Ahmad  dari Salman Ibnu Buraidah al Aslami dari bapaknya
"Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang sedang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya untuk setiap harinya." Aku berkata,  "Wahai Rasulullah, aku telah mendengarmu mengatakan, 'Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya untuk setiap harinya.' Kemudian aku pernah mendengarmu bersabda, 'Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang dalam kesulitan, maka baginya pahala dua kali lipat sedekah piutangnya untuk setiap harinya'." Beliau Saw. bersabda, "Baginya pahala sedekah sebesar piutangnya untuk setiap harinya sebelum tiba masa pelunasannya. Dan apabila masa pelunasannya tiba, lalu ia menangguhkannya, maka baginya untuk setiap hari pahala dua kali lipat sedekah piutangnya."(HR.Ahmad)

B.                 Syarat-Syarat Di Bolehkan Dan Dilarang Moratorium

1.                  Kondisi Dibolehkan Moratorium Pembayaran Utang
a.       Kondisi Penghutang benar-benar dalam keadaan tidak mampu dalam pembayaran hutang.
b.      Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan penundaan pembayaran hutang.
c.       Jangka dan tempo pembayaran hutang jelas.
d.      Tidak adanya tambahan bunga atau syarat manfaat lainnya ketika jatuh tempo pembayaran.
e.       Akad Moratorium tersebut didasari atas keridhaan antara kedua belah pihak. Artinya kesiapan menanggung resiko atas keterlambatan siap di tanggung oleh kedua belah pihak.

2.                  Kondisi Dilarang Melakukan Moratorium Pembayaran Hutang
Hukum asalnya dalam muamalah hutang-piutang adalah dibayar ketika jatuh temponya. Adapun Moratorium adalah jalan yang ditempuh ketika terjadi ketidakmampuan sang penghutang untuk membayar hutang ketika jatuh tempo.
Ada beberapa keadaan dilarang melakukan Moratorium pembayaran hutang.
a.                   Penghutang dalam kondisi mampu untuk membayar hutang ketika jatuh tempo akan tetapi dia sengaja menunda-nunda pembayarannya.

Dalam hal ini rasulullah saw bersabda dalam hadits riwayat Muslim:
“Menunda-nunda pembayaran hutang dalam keadaan mampu adalah suatu kedzaliman. Dan apabila hutang tersebut di pindahkan kepada orang kaya dan terpercaya yang siap menanggung (anjak piutang) maka hendaknya ia menerima hal tersebut.”

Di dalam kitab ‘Ainul Ma’bud Maksud dari (مطل الغني)adalah mengakhirkan pembayaran utang dari waktu kewaktu. Dan Maksud dari (ظلم) adalah karena penundaan pembayaran hutang(Moratorium) pada dasarnya mencegah pelaksanaan kewajiban yang seharusnya dilakukan dan ini merupakan sesuatu yang haram dari seseorang yang mampu walaupun dia seorang yang kaya. Namun tidak berarti pula bahwa orang yang tidak kaya boleh menunda-nunda ketika sanggup membayar hutangnya.
b.                  Tidak adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan penundaan pembayaran hutang.
c.                   Jangka dan tempo pembayaran hutang tidak jelas.
d.                  Adanya tambahan bunga atau syarat manfaat lainnya ketika jatuh tempo pembayaran.
e.                   Akad Moratorium tersebut tidak didasari atas keridhaan antara kedua belah pihak.

C.                Hukum  Tambahan Atau Denda (Penalty) Dalam Moratorium Pembayaran Hutang

Dalam hal ini perlu kita bedakan antara denda dan tambahan dalam pembayaran hutang walaupun keduanya hampir mirip dalam istilah namun dalam prakteknya ada sedikit perberbedaan.

1.                  Tambahan
Tambahan yang di maksudkan disini bukan sekedar hanya uang akan tetapi segala manfaat yang di kaitkan dengan utang piutang tersebut.  Dalam hal ini perlu kita pahami kaidah yang penting yang telah disebutkan sebelumnya juga berkaitan dengan utang-piutang.
Syariah tidak membolehkan si pemberi pinjaman untuk mengambil pendapatan dan manfaat apapun dari pinjaman yang diberikan kepada si peminjam hutang. Manfaat itu adalah riba yang dilarang dalam pandangan syariah. Namun yang di larang adalah manfaat yang telah ditentukan dan di syaratkan di awal akad. Misalnya : “Saya akan pinjami kamu uang akan tetapi kamu harus pinjamkan sepeda motor kamu kepada saya.” Tambahan manfaat (seperti peminjaman barang dll) yang disyaratkan di awal akad adalah bentuk riba yang dilarang.
Adapun tambahan yang bersifat suka rela dan tidak dipersyaratkan dalam akad utang piutang maka hal tersebut di bolehkan. Adapun dalilnya adalah hadits dari Abu Rafi’ bahwa nabi SAW meminjam seekor unta muda dari seorang laki-laki, dan ketika beliau memiliki beberapa unta sedekah, beliau meminta abu Rofi’ untuk membayarkan unta yang dipinjamkannya dari laki-laki tadi. Ia berkata pada nabi SAW:’Aku tidak menemukan unta kecuali seokor unta yang bagus kualitasnya dalam usia tujuh tahun.” Nabi bersabda: berikan unta itu kepadanya, karena sebaik-baik orang adalah yang memenuhi hutangnya dengan cara yang baik.”
2.                  Denda (Penalty/ al Ghoromah al Maliyyah)
Biasanya denda  atau penalty ini disebabkan karena madharat atau kerugian dalam penundaan hutang. Memang Moratorium seringkali berdampak negatif kepada pemilik uang baik dalam pembelanjaan harta maupun investasi lainnya. Moratorium sendiri secara esensi merupakan bentuk dari madhorot yang terkadang berimplikasi pada kerugian sektor lain di bawahnya. Atau bahkan berpengaruh pada perolehan keuntungan yang mungkin bisa dipastikan ketika tidak terjadi keterlambatan pembayaran hutang dalam perusahaan.
Dalam hal ini maksud dari madhorot adalah lawan dari manfaat. Bisa juga diartikan segala dampak negative yang muncul dari Moratorium. Secara global kemudhorotan yang biasanya mengakibatkan denda  terbagi menjadi dua:
a.                   Kemudharatan/dampak negatif  yang ditimbulkan karena murni penundaan dan tidak terkait dengan keuntungan yang pasti bisa diraih dengan penundaan hutang.
Dalam kasus ini seperti dalam kasus kredit yang terjadi di bank konvensional. Seperti nasabah dikenakan denda berupa tambahan bunga dari cicilan yang dibayarkan setiap bulannya. Hal ini merupakan praktek dari riba yang dilarang dalam Islam. Ataupun praktek perorangan seperti perkataan sang pemberi hutang kepada penghutang:”Jika kamu terlambat membayar hutang pada tempo yang disepakati maka akan kami denda dari keterlambatan tersebut 5 % dari jumlah hutang.”
b.                  Denda karena Kemadhorotan akan hilangnya keuntungan yang dipastikan diperoleh jika tidak terjadi keterlambatan hutang.
Keterlambatan pembayaran hutang terkadang membawa madharot besar jika ruanglingkupnya adalah investasi perusahaan yang besar. Contohnya seperti seseorang yang menjual mobil dengan harga 100 juta secara murobahah dengan keuntungan 10 persen dan akan di bayar  selama setahun.Ternyata sang pembeli menunda pembayaran hingga dua tahun. Seandainya pembeli melunasi pada temponya bisa dipastikan penjual akan mendapatkan keuntungan 20 persen selama dua tahun dari uang tersebut. Apakah dalam hal ini sang penjual boleh memberikan denda?
Pada kasus ini para ulama kontemporer berbeda pendapat antara melarang dan membolehkan. Pendapat yang melarang berdalil bahwa tidak bolehnya mendenda orang yang berhutang dan mampu melunasi dengan membayar denda kerugian yang tidak disyaratkan  di akad karena penundaan pembayaran.Pendapat ini merupakan pendapat al majma’ Al fiqhi dan mayoritas ulama kontemporer. Adapun ulama yang membolehkan seperti Syaikh Abdulloh al Mani’ dan Musthafa Ahmad al Zarqo’ dengan alasan salah stunya karena hal tersebut tidak bertentangan dengan syariah bahkan pelakunya ibarat yang yang mengghosob harta orang lain. Yang jelas permasalahan ini sangat butuh penelitian dan perincian lebih mendalam. Wallohu ‘alam.

D.                Sanksi Hukum Bagi Orang yang Menunda atau Tidak Bisa Membayar Hutang

1.               Sanksi Bagi Orang yang Menunda Hutang Dalam Keadaan Mampu
Rosululloh SAW bersabda:

لَيُّ الْوَاجِد يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
Orang kaya yang menunda-nunda pembayaran hutannya patut di umumkan(dicemarkan nama baiknya) dan diberi sanksi hukum.” (HR.Abu Dawud dan Nasa’i)

Dalam menjelaskan hadits ini Syaikh Hasan Ayub menukil perkataan Ibnu al Mubarok: “Maksud dari (يُحِلُّ عِرْضَهُ) adalah orang yang menunda-nunda tersebut berhak mendapatkan tekanan untuk membayar hutang dan ketika dipengadilan di boleh dikatakan sebagai seorang yang dzolim. Adapun makna (وَعُقُوبَتَه) yaitu dia dikenai sanksi kurungan sampai dia membayar hutangnya.
Kemudian dia menjelaskan bahwa orang yang tidak mampu maka tidak berhak mendapatkan kurungan/penjara. Karena dia bukanlah orang dzolim karena belum bisa membayar.
Apabila orang yang mampu tersebut menyembunyikan kekayaannya maka hakim berhak memenjarakannya bahkan memberikan hukuman lain sampai mengeluarkan hartanya. Dan apabila dia beralasan hartanya hilang maka alsan tersebut tidak bisa diterima sampai ada bukti yang akurat. Apabila dia tidak ada bukti yang jelas maka berhak dipenjara. Adapun tujuan memenjarakan tersebut semata-mata hanya untuk mencari kejelasan harta kekayaannya. Jika ternyata didapati benar-benar tidak ada maka daia wajib dibebaskan.”

2.                  Sanksi Bagi Orang yang Tidak Bisa Membayar Hutang
a.                   Sanksi di Dunia
Orang yang tidak mampu membayar hutang maka di dunia dia berhak mendapat sanksi berupa pelarangan pembelanjaan harta(penyitaan) atau hartatersebut di jual dan digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:

“Bahwasanya Mu’adz ibnu Jabal seorang pemuda yang pemurah akan tetapi ia tidak memiliki apa-apa. Dan dia seorang yang senantiasa berhutang hingga seluruh hartanya/barang-barangnnya habis untuk keperluan hutang . Maka nabi saw  datang dan menyarankan agar dia membicarakannya dengan pemilik harta.  Seandainya mereka semua meninggalkan/memaafkan hutang tersebut (seolah-olah semua itu karena kedudukannya disisi rosululloh SAW saja.) Maka rosululloh saw menjual barang-barang milik Mua’adz dan memberikan kepada pemilik hutang untuk melunasinya hingga pada saat itu Mu’adz tak punya harta sedikitpun.”(HR.Said di dalam sunannya)

Dalam menjelaskan hadits ini Imam asy Syaukani mengatakan “ Bahwasanya dibolehkan menyita bagi orang yang tidak mampu membayar hutang dan di bolehkannya bagi hakim menjualnya untuk menutupi hutangnya tanpa harus membedakan apakah  hutang tersebut banyak  atau sedikit”.
Setelah disita harta tersebut maka bagi hakim segera menjual dan membaginya kepada pemilik hutang. Hal tersebut sebagaimana yang di jelaskan oleh al Khotib asy Syarbini dalam Mughni al Muhtaj.
“ Dan setelah penyitaan hendaklah hakim bersegera menjual aset orang yang tidak bisa membayar tersebut serta membagikannya kepada pemilik hutang. Penjualan aset tersebut dimulai dari barang-barang yang mudah rusak kemudian hewan-hewan,kemudian barang yang bisa dipindahkan baru kemudian tanah dan bangunan.”

b.                  Sanksi di Akhirat
Adapun sanksi di akhirat ada beberap hadits yang menjelaskan bahwa dosa hutang akan senantiasa di bawa mati walaupun dia seorang yang mati syahid. Rosululloh SAW bersabda :

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“ Diampuni bagi orang yang mati Syahid seluroh dosanya kecuali dosa yang berkaitan dengan utang-piutang.”(HR. Muslim)    

E.                 Aplikasi Moratorium dalam Dunia Bisnis Perusahaan

Krisis ekonomi dalam suatu negara seringkali menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar dan pailit atau bangkrut. Sementara itu tanggungan utang perusahaan tersebut kepada para kreditornya belum bisa di penuhi. Sebelum suatu perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga maka para debitor perusahaan tersebut berhak mengajukan opsi moratorium atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kepada para kreditornya. Kreditor tersebut mencakup kreditor konkuren, preferen maupun kreditor separatis. Dalam hal ini pemerintah telah membuat undang-undang PKPU untuk mengatur hal tersebut.
“Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun PKPU ini sangat berkaitan erat dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) debitur terhadap hutang-hutangnya kepada pihak kreditor.
Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tundaan pembayaran hutang (suspension of payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim Pengadilan Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini pada dasarnya merupakan sejenis legal moratorium (rencana perdamaian).”
Opsi moratorium yang telah diatur dalam undang-undang tersebut memang sangat menguntungkan bagi pihak debitor. Keuntungan yang jelas nampak dari moratorium bagi debitor diantaranya debitor bisa merekontruksi perusahaannya sekaligus merestrukturisasi utang-utangnya kepada para kreditor. Yang terpenting dari itu bahwa PKPU atau opsi moratorium dapat menjadi sarana perdamaian antara debitor dan semua kreditor sebelum perusahaan dinyatakan pailit yang nantinya berdampak pada pembekuan dan penyitaan aset perusahaan.
Dalam prakteknya PKPU sangat berbeda dengan “gagal bayar” pihak debitor kepada para kreditornya. Gagal bayar merupakan kondisi dimana debitor tidak lagi mampu menanggung utangnya karena kepailitan perusahaannya. Dan moratorium sendiri adalah bentuk ketidakmampuan membayar ketika jatuh tempo karena suatu hal namun, kemampuan pembayaran utang masih besar peluangnya.
Dalam Islam sendiri sangat menganjurkan moratorium dalam rangka tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Para kreditor hendaknya memberikan kebijaksaan kepada debitor untuk moratorium karena hal ini sangat membuka peluang besar untuk kebangkitan usaha sehingga bisa menunaikan hak dan kewajibannya.
Disaat suatu bisnis digoncang badai kepailitan maka konsep moratorium yang di anjurkan dalam islam sangat tepat untuk diaplikasikan baik bagi kreditor maupun debitor. Akan tetapi yang harus di ingat bahwa tidak boleh menetapkan sanksi bunga dalam penundaan pembayaran pajak.  Sebagaimana Pasal 19 ayat (2) UU KUP bahwa wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua Persen) per bulan yang dihitung sejak jatuh tempo  pembayaran sampai dengan pembayaran/pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Hal tersebut termasuk membungakan utang dan bagian dari riba jahiliyyah yang tidak boleh dipraktekkan. Wallohu a’lam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aplikasi fiqh perbankan syariah dalam akad wadiah

TAHAP-TAHAP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK

Pernyataan Standar Akuntansi Syariah (PSAK) Perbankan Syariah