MORATORIUM PEMBAYARAN HUTANG (INZHAR AD-DAIN)
MORATORIUM
PEMBAYARAN HUTANG
(INZHAR
AD-DAIN)
A.
Pengertian
Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia Moratorium secara bahasa berarti penundaan atau penangguhan.
Namun secara konteks biasanya digunakan dalam penangguhan atau pembayaran utang
didasarkan pada undang-undang agar dapat mencegah krisis keuangan yang makin
hebat.
Adapun secara istilah
Moratorium bisa didefinisikan sebagai suatu
proses pemberian tangguh atau penundaan yang dilakukan oleh pemilik piutang
kepada penghutang dalam jangka tempo tertentu yang disepakati oleh kedua belah
pihak.
Kalau kita kaji di dalam al Qur’an maka
akan kita dapati ada satu ayat yang secara khusus menyinggung moratorium dan
satu ayat pokok yang menerangkan tentang utang- piutang yang secara implisit
menerangkan adab-adab terkait dengan moratorium.
Dalam al-Quran surat al
Baqarah ayat 280 Allah
berfirman yang artinya:
“Dan jika (orang
yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.
Ibnu Jarir ath Thobari
dalam tafsirnya menyebutkan beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat
tersebut. Dari riwayat yang ada ayat tersebut turun berkaitan tentang riba.
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan
utang-piutang. Namun beliau menyimpulkan sebagai berikut :
“ Yang benar
ayat ini berkaitan dengan orang-orang jahiliyyah yang kemudian masuk Islam dan
mempunyai piutang sedangkan pada waktu
itu mereka membungakan uang mereka. Ketika awal mereka masuk Islam perkara
tersebut belum tunai. Maka Alloh perintahkan untuk meninggalkan apa yang berbau
riba setelah mereka masuk Islam. Kemudian hanya mengambil uang pokok tanpa
tambahan bunga serta memberikan opsi penagguhan (Moratorium) dalam pengembalian
uang pokok kepada mereka yang berada dalam kesusahan membayar hutang.”
Dalam menafsirkan ayat
ini Ibnu Katsir berkata:
“Allah SWT memerintahkan
bersabar kepada pemilik piutang ketika mendapati orang tua orang yang berhutang
padanya dalam kondisi kesusahan untuk pembayaran hutang seraya berkata: “Dan
jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan” Maksudnya yaitu kita diperintahkan memberikan kelapangan hutang.
Tidak seperti apa yang dilakukan di masa jahiliyah yaitu seseorang di antara
mereka berkata kepada orang yang berutang kepadanya, "Jika masa pelunasan
utangmu telah tiba, maka adakalanya kamu melunasinya atau kamu menambahkan
bunganya.”
Dari penjelasan tafsir
dari ayat tersebut jelas bahwa di dalam al al qur’an melarang membungakan uang
dalam utang piutang dan itu merupakan riba yangg berkembang di zaman
jahiliyyah.
Hal ini sebagaimana
dengan kaidah dalam ushul fiqih.
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat
adalah riba.”
Kemudian Allah berfirman dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan (utang -piutang), hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini sering disebut
oleh para ulama dengan ayat ad Dain (utang-piutang). Dan hakikat dari
hutang adalah sebagai berikut.
“ Suatu ibarat dari segala bentuk muamalah
dimana salah satu pihak menyerahkan kepada pihak lain berupa uang sedangkan
uang tersebut bagi pihak yang diserahkan menjadi tanggungannya yang akan
dikembalikan (dibayar) secara tertunda pada temponya.”
Berkaitan dengan ayat
ini Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya:
هذا إرشاد منه تعالى لعباده المؤمنين إذا تعاملوا
بمعاملات مؤجلة أن يكتبوها، ليكون ذلك أحفظ لمقدارها وميقاتها، وأضبط للشاهد فيها،
وقد نبه على هذا في آخر الآية حيث قال: { ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا }
“Hal ini merupakan petunjuk dari Allah
SWT buat hamba-hamba-Nya yang mukmin apabila mereka mengadakan muamalah secara
tidak tunai, yaitu hendaklah mereka mencatatkannya; karena catatan itu lebih
memelihara jumlah barang dan masa pembayarannya serta lebih tegas bagi orang
yang menyaksikannya. Hikmah ini disebutkan dengan jelas dalam akhir ayat, yaitu
melalui firman-Nya:“ Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan kesaksian dan lebih dekat kepada tidak' (menimbulkan) keraguan
kalian.” (Al-Baqarah: 282).
Adapun Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di
dalam tafsirnya menjelaskan banyak faidah dari ayat ini yang seharusnya diketahui
bagi orang-orang yang terlibat dalam utang piutang, yaitu sebagai berikut :
1.
Dibolehkan muamalah
dengan utang-piutang
baik utang secara murni maupun dalam pembelian secara kredit.
2.
Wajib menentukan waktu
tempo pembayaran dari utang tersebut.
3.
Apa bila waktu tempo
pembayaran hutang tidak ditentukan maka hal tersebut tidak halal karena
merupakan ghoror (adanya unsur penipuan/keculasan).
4.
Perintah Alloh kepada
notulen agar mencatat orang yang saling berhutang dengan adil tidak condong
karena kekerabatan dan tidak mendzolimi karena kebencian.
5.
Bahwasanya notulensi
utang –piutang antar kedua belah pihak merupakan sebaik-baik amal dan merupakan
bentuk perbuatan ihsan kepada keduanya. Dan didalamnya menjaga hak-hak kedua
belah pihak.
6.
Bahwasanya notulen
wajib mengetahui keadilan dan terkenal sebagai seorang yang berperilaku adil.
7.
Pihak yang meminta
pencatatan adalah pihak yang berhutang.
8.
Bahwasanya persaksian
dua orang wanita dalam masalah utang setara dengan persaksian satu laki-laki.
Hal ini adalah dalam persaksian yang menyangkut perkara duniawi. Adapun dalam
masalah din seperti periwayatan, berfatwa maka kesaksian perempuan setara
dengan laki-laki
9.
Tidak boleh mengambil
upah dalam penulisan dan kesaksian utang karena hal tersebut merupakan perkara
yang telah di wajibkan
Alloh. Dan hal tersebut merupakan keburukan bagi 2 pihak yang saling
bertentangan.
10.
Bahwasanya melukai atau
mencederai saksi dan notulen maka hal tersebut termasuk tindak kefasikan dll.
Banyak sekali
hadist nabi saw yang menjelaskan tentang Moratorium dalam pembayaran hutang
diantaranya adalah:
Hadits Ibnu Abbas
radhiyallohu ‘anhuma dalam riwayat al Bukhori dan Muslim:
عن ابن عباس، قال: قدم
النبي صلى الله عليه وسلم المدينة وهم يُسْلفُون في الثمار السنتين والثلاث، فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من أسلف فليسلف في كيل معلوم، ووزن معلوم،
إلى أجل معلوم".
“Dari
Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, para
penduduknya telah terbiasa saling mengutangkan buah-buahan untuk masa satu
tahun, dua tahun, sampai tiga tahun. Maka Rasulullah Saw. bersabda:“ Barang
siapa yang berutang, maka hendaklah ia berutang dalam takaran yang telah
dimaklumi dan dalam timbangan yang telah dimaklumi untuk waktu yang
ditentukan.”
Hadits riwayat ath Thobroni dari Abu
Umamah (yaitu As'ad ibnu Zurarah), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"من
سره أن يظله الله يوم لا ظل إلا ظله، فَلْيُيَسِّر على معسر أو ليضع عنه"
“
Barang siapa yang ingin mendapat naungan dari Allah pada hari tiada naungan
kecuali hanya naungan-Nya, maka hendaklah ia memberikan kemudahan kepada orang
yang dalam kesulitan atau memaafkan utangnya.” (HR. Ath-Thabrani)
Hadits riwayat Ahmad dari Salman Ibnu Buraidah al Aslami dari
bapaknya
"Barang siapa yang memberikan masa
tangguh kepada orang yang sedang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang
semisal dengan piutangnya untuk setiap harinya." Aku berkata,
"Wahai Rasulullah, aku telah
mendengarmu mengatakan, 'Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang
yang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya
untuk setiap harinya.' Kemudian aku pernah mendengarmu bersabda, 'Barang siapa
yang memberikan masa tangguh kepada orang yang dalam kesulitan, maka baginya
pahala dua kali lipat sedekah piutangnya untuk setiap harinya'." Beliau
Saw. bersabda, "Baginya pahala sedekah sebesar piutangnya untuk setiap
harinya sebelum tiba masa pelunasannya. Dan apabila masa pelunasannya tiba,
lalu ia menangguhkannya, maka baginya untuk setiap hari pahala dua kali lipat
sedekah piutangnya."(HR.Ahmad)
B.
Syarat-Syarat Di
Bolehkan Dan Dilarang Moratorium
1.
Kondisi Dibolehkan Moratorium Pembayaran Utang
a. Kondisi
Penghutang benar-benar dalam keadaan tidak mampu dalam pembayaran hutang.
b. Adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan penundaan pembayaran
hutang.
c. Jangka
dan tempo pembayaran hutang jelas.
d. Tidak
adanya tambahan bunga atau syarat manfaat lainnya ketika jatuh tempo
pembayaran.
e. Akad
Moratorium tersebut didasari atas keridhaan antara kedua belah pihak. Artinya
kesiapan menanggung resiko atas keterlambatan siap di tanggung oleh kedua belah
pihak.
2.
Kondisi Dilarang Melakukan Moratorium Pembayaran Hutang
Hukum
asalnya dalam muamalah hutang-piutang
adalah dibayar ketika jatuh temponya. Adapun Moratorium adalah jalan yang
ditempuh ketika terjadi ketidakmampuan sang penghutang untuk membayar hutang ketika
jatuh tempo.
Ada beberapa keadaan
dilarang melakukan Moratorium pembayaran hutang.
a.
Penghutang dalam
kondisi mampu untuk membayar hutang ketika jatuh tempo akan tetapi dia sengaja
menunda-nunda pembayarannya.
Dalam
hal ini rasulullah saw bersabda dalam
hadits riwayat Muslim:
“Menunda-nunda
pembayaran hutang dalam keadaan mampu adalah suatu kedzaliman. Dan apabila
hutang tersebut di pindahkan kepada orang kaya dan terpercaya yang
siap menanggung (anjak piutang) maka hendaknya ia menerima hal tersebut.”
Di
dalam kitab ‘Ainul Ma’bud
Maksud
dari (مطل الغني)adalah
mengakhirkan pembayaran utang dari waktu kewaktu. Dan Maksud dari (ظلم) adalah karena penundaan pembayaran hutang(Moratorium) pada
dasarnya mencegah pelaksanaan kewajiban yang seharusnya dilakukan dan ini
merupakan sesuatu yang haram dari seseorang yang mampu walaupun dia seorang
yang kaya. Namun tidak berarti pula bahwa orang yang tidak kaya boleh
menunda-nunda ketika sanggup membayar hutangnya.
b.
Tidak adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan penundaan pembayaran
hutang.
c.
Jangka dan tempo
pembayaran hutang tidak jelas.
d.
Adanya tambahan bunga
atau syarat manfaat lainnya ketika jatuh tempo pembayaran.
e.
Akad Moratorium
tersebut tidak didasari atas keridhaan antara kedua belah pihak.
C.
Hukum Tambahan Atau Denda (Penalty) Dalam
Moratorium Pembayaran Hutang
Dalam hal ini perlu
kita bedakan antara denda dan tambahan dalam pembayaran hutang walaupun
keduanya hampir mirip dalam istilah namun dalam prakteknya ada sedikit
perberbedaan.
1.
Tambahan
Tambahan yang di
maksudkan disini bukan sekedar hanya uang akan tetapi segala manfaat yang di
kaitkan dengan utang piutang tersebut.
Dalam hal ini perlu kita pahami kaidah yang penting yang telah
disebutkan sebelumnya juga berkaitan dengan utang-piutang.
Syariah tidak
membolehkan si pemberi
pinjaman untuk mengambil pendapatan dan manfaat apapun dari pinjaman yang
diberikan kepada si peminjam
hutang. Manfaat itu adalah riba yang dilarang dalam pandangan syariah. Namun
yang di larang adalah manfaat yang telah ditentukan dan di syaratkan di awal
akad. Misalnya :
“Saya akan pinjami kamu uang akan tetapi kamu harus pinjamkan sepeda motor kamu
kepada saya.” Tambahan
manfaat (seperti peminjaman barang dll) yang disyaratkan di awal akad adalah
bentuk riba yang dilarang.
Adapun tambahan yang
bersifat suka rela dan tidak dipersyaratkan dalam akad utang piutang maka hal
tersebut di bolehkan. Adapun dalilnya adalah hadits dari Abu Rafi’ bahwa nabi
SAW meminjam seekor unta muda dari seorang laki-laki, dan ketika beliau
memiliki beberapa unta sedekah, beliau meminta abu Rofi’ untuk membayarkan unta
yang dipinjamkannya dari laki-laki tadi. Ia berkata pada nabi SAW:’Aku tidak
menemukan unta kecuali seokor unta yang bagus kualitasnya dalam usia tujuh
tahun.” Nabi bersabda: berikan unta itu kepadanya, karena sebaik-baik orang
adalah yang memenuhi hutangnya dengan cara yang baik.”
2.
Denda (Penalty/ al Ghoromah al Maliyyah)
Biasanya denda atau penalty ini disebabkan karena madharat atau kerugian dalam
penundaan hutang. Memang Moratorium seringkali berdampak negatif kepada pemilik
uang baik dalam pembelanjaan harta maupun investasi lainnya. Moratorium sendiri
secara esensi merupakan bentuk dari madhorot yang terkadang berimplikasi pada
kerugian sektor lain di bawahnya. Atau bahkan berpengaruh pada perolehan
keuntungan yang mungkin bisa dipastikan ketika tidak terjadi keterlambatan
pembayaran hutang dalam perusahaan.
Dalam hal ini maksud
dari madhorot adalah lawan dari manfaat. Bisa juga diartikan segala dampak
negative yang muncul dari Moratorium. Secara global kemudhorotan yang biasanya
mengakibatkan denda terbagi menjadi dua:
a.
Kemudharatan/dampak negatif yang ditimbulkan karena murni penundaan dan
tidak terkait dengan keuntungan yang pasti bisa diraih dengan penundaan hutang.
Dalam
kasus ini seperti dalam kasus kredit yang terjadi di bank konvensional. Seperti
nasabah dikenakan denda berupa tambahan bunga dari cicilan yang dibayarkan
setiap bulannya. Hal ini merupakan praktek dari riba yang dilarang dalam Islam.
Ataupun praktek perorangan seperti perkataan sang pemberi hutang kepada
penghutang:”Jika kamu terlambat membayar hutang pada tempo yang disepakati maka
akan kami denda dari keterlambatan tersebut 5 % dari jumlah hutang.”
b.
Denda karena
Kemadhorotan akan hilangnya keuntungan yang dipastikan diperoleh jika tidak
terjadi keterlambatan hutang.
Keterlambatan
pembayaran hutang terkadang membawa madharot besar jika ruanglingkupnya adalah
investasi perusahaan yang besar. Contohnya seperti seseorang yang menjual mobil
dengan harga 100 juta secara murobahah dengan keuntungan 10 persen dan akan di
bayar selama setahun.Ternyata sang
pembeli menunda pembayaran hingga dua tahun. Seandainya pembeli melunasi pada
temponya bisa dipastikan penjual akan mendapatkan keuntungan 20 persen selama
dua tahun dari uang tersebut. Apakah dalam hal ini sang penjual boleh
memberikan denda?
Pada kasus ini para
ulama kontemporer berbeda pendapat antara melarang dan membolehkan. Pendapat
yang melarang berdalil bahwa tidak bolehnya mendenda orang yang berhutang dan
mampu melunasi dengan membayar denda kerugian yang tidak disyaratkan di akad karena penundaan pembayaran.Pendapat
ini merupakan pendapat al majma’ Al fiqhi dan mayoritas ulama kontemporer.
Adapun ulama yang membolehkan seperti Syaikh Abdulloh al Mani’ dan Musthafa
Ahmad al Zarqo’ dengan alasan salah stunya karena hal tersebut tidak
bertentangan dengan syariah bahkan pelakunya ibarat yang yang mengghosob harta
orang lain. Yang jelas permasalahan ini sangat butuh penelitian dan perincian
lebih mendalam. Wallohu ‘alam.
D.
Sanksi Hukum Bagi Orang
yang Menunda atau Tidak Bisa Membayar
Hutang
1.
Sanksi Bagi Orang yang Menunda Hutang Dalam Keadaan Mampu
Rosululloh SAW bersabda:
لَيُّ الْوَاجِد يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
“Orang kaya yang
menunda-nunda pembayaran hutannya patut di umumkan(dicemarkan nama baiknya) dan
diberi sanksi hukum.” (HR.Abu Dawud dan Nasa’i)
Dalam menjelaskan
hadits ini Syaikh Hasan Ayub menukil perkataan Ibnu al Mubarok: “Maksud dari (يُحِلُّ
عِرْضَهُ) adalah orang yang menunda-nunda tersebut
berhak mendapatkan tekanan untuk membayar hutang dan ketika dipengadilan di
boleh dikatakan sebagai seorang yang dzolim. Adapun makna (وَعُقُوبَتَه) yaitu dia dikenai sanksi kurungan sampai dia membayar
hutangnya.
Kemudian dia
menjelaskan bahwa orang yang tidak mampu maka tidak berhak mendapatkan
kurungan/penjara. Karena dia bukanlah orang dzolim karena belum bisa membayar.
Apabila orang yang
mampu tersebut menyembunyikan kekayaannya maka hakim berhak memenjarakannya
bahkan memberikan hukuman lain sampai mengeluarkan hartanya. Dan apabila dia
beralasan hartanya hilang maka alsan tersebut tidak bisa diterima sampai ada
bukti yang akurat. Apabila dia tidak ada bukti yang jelas maka berhak
dipenjara. Adapun tujuan memenjarakan tersebut semata-mata hanya untuk mencari
kejelasan harta kekayaannya. Jika ternyata didapati benar-benar tidak ada maka
daia wajib dibebaskan.”
2.
Sanksi Bagi Orang yang Tidak Bisa Membayar Hutang
a.
Sanksi di Dunia
Orang
yang tidak mampu membayar hutang maka di dunia dia berhak mendapat sanksi
berupa pelarangan pembelanjaan harta(penyitaan) atau hartatersebut di jual dan
digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:
“Bahwasanya
Mu’adz ibnu Jabal seorang pemuda yang pemurah akan tetapi ia tidak memiliki
apa-apa. Dan dia seorang yang senantiasa berhutang hingga seluruh
hartanya/barang-barangnnya habis untuk keperluan hutang . Maka nabi saw datang dan menyarankan agar dia
membicarakannya dengan pemilik harta.
Seandainya mereka semua meninggalkan/memaafkan hutang tersebut
(seolah-olah semua itu karena kedudukannya disisi rosululloh SAW saja.) Maka
rosululloh saw menjual barang-barang milik Mua’adz dan memberikan kepada pemilik
hutang untuk melunasinya hingga pada saat itu Mu’adz tak punya harta
sedikitpun.”(HR.Said di dalam sunannya)
Dalam menjelaskan
hadits ini Imam asy Syaukani mengatakan “ Bahwasanya dibolehkan menyita bagi
orang yang tidak mampu membayar hutang dan di bolehkannya bagi hakim menjualnya
untuk menutupi hutangnya tanpa harus membedakan apakah hutang tersebut banyak atau sedikit”.
Setelah disita harta
tersebut maka bagi hakim segera menjual dan membaginya kepada pemilik hutang.
Hal tersebut sebagaimana yang di jelaskan oleh al Khotib asy Syarbini dalam
Mughni al Muhtaj.
“ Dan setelah
penyitaan hendaklah hakim bersegera menjual aset orang yang tidak bisa membayar
tersebut serta membagikannya kepada pemilik hutang. Penjualan aset tersebut
dimulai dari barang-barang yang mudah rusak kemudian hewan-hewan,kemudian
barang yang bisa dipindahkan baru kemudian tanah dan bangunan.”
b.
Sanksi di Akhirat
Adapun
sanksi di akhirat ada beberap hadits yang menjelaskan bahwa dosa hutang akan
senantiasa di bawa mati walaupun dia seorang yang mati syahid. Rosululloh SAW
bersabda :
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“
Diampuni bagi orang yang mati Syahid seluroh dosanya kecuali dosa yang
berkaitan dengan utang-piutang.”(HR. Muslim)
E.
Aplikasi
Moratorium dalam
Dunia Bisnis Perusahaan
Krisis ekonomi dalam
suatu negara seringkali menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar dan pailit
atau bangkrut. Sementara itu tanggungan utang perusahaan tersebut kepada para
kreditornya belum bisa di penuhi. Sebelum suatu perusahaan dinyatakan pailit
oleh pengadilan niaga maka para debitor perusahaan tersebut berhak mengajukan
opsi moratorium atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kepada para
kreditornya. Kreditor tersebut mencakup kreditor konkuren, preferen maupun
kreditor separatis. Dalam hal ini pemerintah telah membuat undang-undang PKPU
untuk mengatur hal tersebut.
“Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam
pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun PKPU ini sangat berkaitan erat
dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) debitur terhadap hutang-hutangnya
kepada pihak kreditor.
Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pailit Dalam
Teori dan Praktek” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tundaan pembayaran
hutang (suspension of payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa
yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim Pengadilan Niaga dimana
dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan
untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana
pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya, termasuk apabila perlu untuk
merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU) ini pada dasarnya merupakan sejenis legal moratorium (rencana
perdamaian).”
Opsi moratorium yang
telah diatur dalam undang-undang tersebut memang sangat menguntungkan bagi
pihak debitor. Keuntungan yang jelas nampak dari moratorium bagi debitor
diantaranya debitor bisa merekontruksi perusahaannya sekaligus
merestrukturisasi utang-utangnya kepada para kreditor. Yang terpenting dari itu
bahwa PKPU atau opsi moratorium dapat menjadi sarana perdamaian antara debitor
dan semua kreditor sebelum perusahaan dinyatakan pailit yang nantinya berdampak
pada pembekuan dan penyitaan aset perusahaan.
Dalam prakteknya PKPU sangat berbeda dengan “gagal bayar”
pihak debitor kepada para kreditornya. Gagal bayar merupakan kondisi dimana
debitor tidak lagi mampu menanggung utangnya karena kepailitan perusahaannya.
Dan moratorium sendiri adalah bentuk ketidakmampuan membayar ketika jatuh tempo
karena suatu hal namun, kemampuan pembayaran utang masih besar peluangnya.
Dalam Islam sendiri
sangat menganjurkan moratorium dalam rangka tolong-menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan. Para kreditor hendaknya memberikan kebijaksaan kepada debitor untuk
moratorium karena hal ini sangat membuka peluang besar untuk kebangkitan usaha
sehingga bisa menunaikan hak dan kewajibannya.
Disaat suatu bisnis
digoncang badai kepailitan maka konsep moratorium yang di anjurkan dalam islam
sangat tepat untuk diaplikasikan baik bagi kreditor maupun debitor. Akan tetapi
yang harus di ingat bahwa tidak boleh menetapkan sanksi bunga dalam penundaan
pembayaran pajak. Sebagaimana Pasal 19 ayat (2) UU KUP bahwa
wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua Persen)
per bulan yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan
pembayaran/pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
Hal tersebut termasuk membungakan utang dan bagian dari riba
jahiliyyah yang tidak boleh dipraktekkan. Wallohu a’lam bishowab.
Komentar
Posting Komentar