Asuransi Jiwa Syariah dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah



ASURANSI JIWA SYARIAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH
 oleh : Devina Mahmudah

BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar belakang

Salah satu prinsip dasar dalam hukum fiqih Islam mengatakan bahwa hukum asal dalam bermuamalah adalah mubah atau boleh, dan akan menjadi haram atau tidak boleh jika ada dalil yang melarangnya.  Berdasarkan prinsip itu maka berbagai jenis transaksi yang dikembangkan dalam perekonomian modern pada dasarnya boleh karena bagian dari muamalah, kecuali ada satu atau lebih unsur yang membentuk transaksi tersebut yang dilarang maka hukum transaksi tersebut menjadi haram.
Bagaimana halnya dengan asuransi jiwa konvensional yang selama ini berkembang ?  Dilihat dari konsep dan operasionalnya secara hukum fiqih dalam asuransi jiwa konvensional terdapat tiga unsur yang dilarang yaitu gharar (ketidaktentuan), maisir (judi), dan riba (bunga).  Oleh karena itu asuransi jiwa konvensional secara fiqih Islam hukumnya haram.
Untuk menjadikan bisnis asuransi bisa diterima secara hukum fiqih Islam, maka perusahaan asuransi harus dibangun dan dijalankan dengan menghilangkan  unsur gharar, maisir dan riba.  Seperti makanan yang haram karena ada minyak babinya, maka untuk menjadikan makanan itu halal adalah dengan cara mengganti minyak babi dengan bahan lain yang halal.
Kontrak yang diterapkan dalam asuransi jiwa konvensional menganut prinsip risk transfer, sehingga menurut pandangan hukum fiqih Islam tergolong dalam kontrak jual beli (muawadah/tabadulli).  Sementara kontrak jual beli menurut hukum fiqih mensyaratkan objek yang diperjual belikan dan waktu penyerahan harus jelas dan pasti.
Tertanggung membayar premi untuk suatu benefit yang kejadiannya tidak pasti. Di sisi lain pembayaran premi secara angsuran (seperti bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan) menyebabkan besarnya akumulasi premi yang dibayar juga menjadi tidak pasti, karena pada saat tertanggung meninggal maka angsuran premi menjadi terhenti.  Ketidaktentuan mendapat benefit dan ketidaktentuan total premi yang dibayar tergolong dalam kategori gharar.  Sama halnya dengan seorang pemancing yang mengunjungi tempat pemancingan, dengan membayar sejumlah tertentu uang lalu pemilik pemancingan melepaskan sejumlah tertentu ikan ke dalam kolam pemancingan, si pemancing mendapat izin memancing selama waktu tertentu, apakah si pemancing akan mendapat ikan atau tidak dan berapa ekor ikan yang akan didapat adalah sesuatu yang tidak pasti dan ini termasuk gharar.
Akibat lanjutan dari kontrak asuransi jiwa yang bersifat gharar, dimana dengan mambayar sejumlah premi akan mendapat beberapa kemungkinan benefit, jauh lebih besar dari premi, lebih kecil dari premi, atau bahkan tidak mendapat apa-apa.  Hal seperti ini dalam hukum fikih tergolong sebagai maisir.
Pengelolaan dana asuransi jiwa pada outlet investasi yang menggunakan konsep bunga, dimana return yang akan didapat bersifat pasti dan diperjanjikan diawal.  Praktek investasi seperti ini tergolong dalam hukum fikih kategori riba.
Pada perusahaan asuransi jiwa syariah dalam hal pengembangan produk, akad atau kontrak, investasi, dan opersional perusahaan secara keseluruhan harus dipastikan tidak mengandung ketiga unsur diatas dan unsur-unsur lain yang dilarang.

B.           Rumusan masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka secara umum rumusan masalah pada laporan ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengertian Asuransi jiwa syariah menurut Undang-Undang yang berlaku ?
2.      Bagaimana konsep dan operasional jiwa syariah dalam mengeliminir gharar, jiwa, dan syariah ?

C.     Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan  masalah diatas, tujuan dari penulisan ini adalah :
1.      Mengetahui pengertian Asuransi jiwa syariah menurut Undang-Undang yang berlaku.
2.      Mengetahui konsep dan operasional jiwa syariah dalam mengeliminir gharar, jiwa, dan syariah.

D.         Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini terdiri atas menfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:
1.             Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu:
a.             Memahami pengertian asuransi jiwa syariah menurut undang-undang yang berlaku.
b.             Memahami konsep dan sistem operasional asuransi jiwa syariah dalam mengeliminir gharar, maisir, dan riba.

2.             Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:
a.              Memberikan informasi konsep dan sistem operasional asuransi jiwa syariah dalam mengeliminir gharar, maisir, dan riba.
b.             Menjadi bahan acuan dan referensi bagi peneliti selanjutnya yang meneliti objek penelitian yang sama dengan peneliti ini.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.          Al – Qur’an dan Hadits

1.             Al-Qur’an
                                                                                
يَا أَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖوَاتَّقُوااللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
 “Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS. al-Hasyr: 18).

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”[1][1]
(Q.S. Al-Maaidah : 2)

2.           Al-Hadits

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa:
Kedudukan (persaudaraan) yang beriman satu sama lainnya ibarat satu tubuh, bilamana salah satu tubuh itu sakit, maka akan dirasakan sakitnya oleh seluruh anggota tubuh lainnya”


3.             Undang-Undang

Dalam UU No. 40 Tahun 2014 pasal 1 angka 9, dirumuskan definisi usaha asuransi jiwa syariah, yaitu sebagai berikut :
“Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran Iain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dala.”[2][2]
Ruang lingkup usaha perasuransian jiwa syariah menurus pasal 3 angka 2 UU No. 40 tahun 2014, yaitu sebagai berikut :
“Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah termasuk lini usaha anuitas berdasarkan Prinsip Syariah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah.”[3][3]
Dalam pasal 21 angka 2 dijelaskan mengenai penyelenggaraan usaha asuransi jiwa syariah, yaitu sebagai berikut :
Untuk perusahaan asuransi jiwa syariah, kekayaan dan kewajiban Peserta untuk keperluan saling menolong dalam menghadapi risiko wajib dipisahkan dari kekayaan dan kewajiban Peserta untuk keperluan investasi.”[4][4]

4.             Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI

   Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.[5][5]

Pertama : Ketentuan Umum
1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua : Akad dalam Asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru'.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam : Premi
1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah.

Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan Tambahan
1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.


BAB III
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Asuransi Jiwa Syariah

Dalam UU No. 40 Tahun 2014, dirumuskan definisi asuransi syariah yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 40 Tahun 2014, yaitu sebagai berikut :
“Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan peranjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara :
a.   memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b.  memberikan pembayaran yanrg didasarkan pada meninggalnya peserta atau yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.[6][6]
Dari pengertian asuransi syariah di atas, dapat disimpulkan bahwa Pengertian Asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada sistem perekonomian, dengan cara menggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena risiko yang sama atau terkena resiko yang hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar agar probabilitas kerugiannya dapat diprediksi dan bila kerugian yang diprediksikan terjadi, maka akan dibagi secara proposional kepada semua pihak dalam gabungan itu.[7][7]
           
           Dalam hubungannya dengan asuransi jiwa maka fokus pembahasan diarahkan pada jenis asuransi, butir (b). Apabila Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 di persempit hanya melingkupi jenis asuransi jiwa, maka urusannya adalah:
“Asuransi jiwa adalah perjanjian, antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan pembayaran yanrg didasarkan pada meninggalnya peserta atau yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
Definisi inilah yang akan dijadikan titik tolak pembahasan asuransi jiwa syariah selanjutnya.

B.                 Konsep dan Operasional Asuransi Jiwa Syariah

Dalam rangka mengeliminir Gharar, Maisir, dan Riba Asuransi jiwa syariah memiliki konsep dan operasional yaitu bsebagai berikut :

1.                  Pengelolaan Risiko

Asuransi Jiwa adalah salah satu cara atau pilihan dalam pengelolaan risiko finansial keluarga.  Dalam asuransi konvensional prinsip pengelolaan resiko yang dianut adalah risk transfer, dimana nasabah sebagai tertanggung memindahkan risiko finansialnya kepada perusahaan asuransi jiwa yang bertindak sebagai penanggung dengan cara tertanggung membayar sejumlah premi kepada penanggung sesuai dengan besarnya risiko.  Penanggung menjanjikan akan membayar sejumlah uang pertanggungan jika kejadian-kejadian yang diperjanjikan terjadi, dituangkan dalam bentuk polis yang didalamnya memuat ketentuan-ketentuan yang mengikat kedua belah pihak.
Pemindahan risiko ini menjadi dasar terjadinya pemidahan kepemilikan uang premi dari tertanggung menjadi milik penanggung atau dalam istilah keuangannya menjadi pendapatan bagi perusahaan.  Sehingga perusahaan berkuasa penuh terhadap pengelolaan dana premi yang terkumpul.
Pembayaran benefit dari tertanggung kepada penanggung akan dilakukan jika hal-hal yang diperjanjikan terjadi dan sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam polis.  Karena premi yang diterima penanggung dicatat sebagai pendapatan maka klaim-klaim yang dibayar akan dicatat sebagai biaya bagi perusahaan asuransi dan berapapun besarnya akan menjadi beban biaya bagi perusahaan asuransi.
Prinsip risk transfer menyebabkan kontrak atau akad asuransi terjadi antara tertanggung dan penanggung, dimana tertanggung sudah pasti mengeluarkan uang untuk membayar premi kepada penanggung sementara tertanggung belum tentu mendapat uang pertanggungan.  Sehingga akad atau kontrak yang dilandaskan pada prinsip risk transfer bersifat gharar.
Konsekuensi lanjutannya dari kontrak yang gharar jika dikaitkan dengan kepindahan kepemilikan dana premi dari tertanggung ke penanggung dan sebaliknya kepindahan dana klaim dari penanggung ke tertanggung, maka untuk setiap polis akan terjadi dua kemungkinan:
1.      Jika tidak terjadi klaim  maka tertanggung rugi karena telah mengeluarkan sejumlah uang  dan tidak mendapatkan uang pertanggungan, sebaliknya perusahaan asuransi untung karena menerima uang dan tidak membayar uang pertanggungan.
2.      Jika terjadi klaim  sebelum kontrak berakhir dimana belum semua premi yang dijanjikan dibayar maka tertanggung untung karena walaupun telah mengeluarkan sejumlah uang  tetapi mendapatkan uang pertanggungan yang jauh lebih besar dan juga sumber uang pertanggungan tidak jelas, sebaliknya perusahaan asuransi rugi karena walaupun baru menerima uang premi sebagian tapi membayar uang pertanggungan secara penuh.
Transaksi win-loss seperti ini dalam pertimbangan hukum fiqih termasuk dalam kategori maisir. Untuk menghilangkan gharar tentu harus dilakukan koreksi terhadap penyebabnya yaitu prinsip pengelolaan risiko yang digunakan.  Dalam asuransi syariah pengelolaan risiko menganut prinsip risk sharing, dimana sejumlah nasabah mengikatkan diri sebagai peserta dari kelompok orang yang saling berbagi risiko finansial dengan cara mengumpulkan iuran dari setiap peserta untuk dikelola oleh perusahaan asuransi jiwa syariah yang bertindak sebagai pemegang amanah (operator/administrator).  Para peserta saling berjanji untuk menanggung  satu sama lain jika diantara peserta mengalami musibah sesuai dengan ketentuan-ketentuan disepakati bersama.
Karena menggunakan prinsip risk sharing maka dalam asuransi jiwa syariah tidak tejadi perpindahan kepemilikan dana dari peserta kepada perusahaan asuransi.  Dana tetap menjadi milik bersama semua peserta, perusahaan asuransi syariah hanya diamanahkan untuk mengelola dana dan mencatatnya sebagai dana pihak ketiga.   Setiap perpindahan kepemilikan dana dari peserta ke perusahaan asuransi harus dilandasi akad yang jelas dan diperbolehkan oleh hukum fiqih.
Dalam hal terjadinya musibah perusahaan asuransi jiwa syariah tidak menjadi penanggung terhadap risiko finansialnya, karena sesungguhnya para pesertalah yang saling menanggung sesama mereka.  Perusahaan asuransi syariah hanya menjadi verifikator dan juru bayar klaim saja, sehingga sebesar apapun risiko yang terjadi tidak menjadi beban biaya perusahaan asuransi syariah.
Dengan hilangnya unsur gharar dalam akad dan dikaitkan dengan tidak adanya perpindahan kepemilikan dana dari peserta ke perusahaan asuransi syariah dan sebaliknya, maka akan terjadi dua kemungkinan:
1.      Jika tidak terjadi klaim  maka peserta tidak dirugikan karena uang yang telah dikeluarkan sudah diniatkan untuk donasi, demikian juga perusahaan asuransi juga tidak diuntungkan karena premi bukan milik perusahan.
2.      Jika terjadi klaim  maka peserta mendapat bantuan keuangan, sedangkan perusahaan asuransi tidak dirugikan karena benefit yang dibayarkan berasal dari dana peserta sendiri.
Dengan demikian karena transaksi diatas didasari oleh akad atau kontrak yang tidak gharar maka cara peserta mendapatkan manfaat dan cara perusahaan mendapatkan keuntungan tidak termasuk dalam kategori maisir.

2.         Pengelolaan Dana

Pada perusahaan asuransi jiwa konvensional premi yang diterima dari tertanggung akan dicatat sebagai pendapatan.    Perusahaan asuransi bebas mengelola dana yang terkumpul agar menghasilkan pulangan yang sebesar-besarnya sepanjang tidak melanggar regulasi yang ditetapkan pemerintah.  Sebagian besar outlet investasi yang ada berdasarkan bunga, dimana besarnya pulangan yang akan diterima setelah jatuh tempo sudah ditetapkan diawal kontrak.  Praktek investasi seperti ini dalam hukum fiqih termasuk dalam kategori riba.
Pada perusahaan asuransi jiwa syariah dana yang dikelola adalah dana milik peserta, sehingga cara mengelolanya harus sesuai dengan akad yang disepakati antara peserta dan perusahaan asuransi.  Dana diinvestasikan untuk mendapatkan pulangan yang besar, memiliki tingkat keamanan yang cukup, tidak melanggar regulasi dan yang paling penting tidak melanggar hukum syariah.   Hanya boleh diinvestasikan pada jenis investasi yang tidak riba dan juga tidak diinvestasikan pada perusahan yang memproduksi barang atau jasa kategori haram.
Pengelolaan dana peserta harus dipisahkan dengan pengelolaan dana perusahaan.  Dana peserta adalah kumpulan dari iuran para peserta yang nantinya digunakan untuk membayar klaim-klaim yang terjadi.  Sedangkan Dana Perusahaan adalah modal ditambah pendapatan-pendapatan dan digunakan untuk membiayai operasional perusahaan.
Perusahaan asuransi jiwa syariah harus mampu menyajikan laporan keuangan (neraca, labarugi, dll) secara terpisah antara dana perusahaan dan dana peserta sehingga terlihat dengan transparan posisi dana masing-masing dan perubahan-perubahan yang terjadi di kedua dana tersebut termasuk jika ada perpindahan dana diantara keduanya.

3.                     Pembentukan Rate Premi

Hal yang paling penting dalam asuransi jiwa adalah penentuan tarif (rate making), karena hal tersebut akan menentukan besarnya premi yang akan diterimah. Tarif atau premi yang akan ditetapkan harus bisa menutupi klaim (risiko) serta biaya-biaya asuransi, dan sebagian dari jumlah penerimaan perusahaan (keuntungan).[8][8]
Dalam penentuan rate premi pada asuransi syariah, basic perhitungan yang dipakai adalah :
1.         Tabel mortalitas
2.         Asumsi tingkat investasi
3.         Asumsi tingkat biaya
      Tabel mortalita digunakan untuk memberikan bobot risiko pada usia peserta, makin tua usia makin besar risikonya, sehingga makin tua usia maka akan dikenakan premi makin besar.  Dengan demikian diharapkan dana tabarru’ yang terkumpul cukup untuk membayar klaim yang mungkin terjadi.
Asumsi tingkat investasi digunakan untuk mempertimbangkan adanya pertumbuhan dana karena diinvestasikan, sehingga rate premi jadi lebih murah.  Makin tinggi asumsi tingkat investasi yang digunakan maka rate premi semakin murah.  Namun dalam asuransi syariah penetapan asumsi tingkat investasi haruslah konservatif untuk menghindari kekurangan dana tabarru’ yang disebabkan tingkat investasi aktual yang jauh lebih rendah dari yang diasumsikan.
Berapapun asumsi tingkat investasi yang digunakan, maka hasil investasi yang dibukukan ke rekening dana tabarru’ adalah yang real dihasilkan, baik itu lebih besar atau pun lebih kecil.  Bila realisasi hasil investasi lebih kecil dari asumsi maka dana tabarru’ yang tersedia lebih kecil dari hasil valuasi aktuaria, begitu juga sebaliknya bila realisasi hasil investasi lebih besar dari asumsi maka dana tabarru’ yang tersedia lebih besar dari hasil valuasi aktuaria.
Asumsi tingkat biaya yang digunakan tidak serumit pada asuransi konvensional seperti biaya alpha, betha,dan gamma.   Pada asuransi syariah asumsi tingkat biaya dibuat lebih sederhana, lebih real, dan lebih transparan.
Sebagai contoh tingkat mortalita yang digunakan adalah qx dan asumsi tingkat investasi i% maka dapat dirumuskan:
                                 Premi Netto (p) = qx / (1+ i%)
Premi Bruto (g) = (p + c) / (1 – b )
Dimana,   c :  contigensi atau marjin risiko
                 b : tingkat biaya atau loading yang terdiri dari biaya akuisisi, marjin keuntungan, dan biaya lainnya.
Biaya lainnya meliputi biaya penerbitan polis, biaya pemeriksaan medis, biaya penyelesaian klaim termasuk biaya investigasi klaim dan lain-lain yang berhubungan langsung dengan proses akseptasi dan klaim.

4.                  Produk Dengan Unsur Tabungan (Proteksi + investasi)

Produk ini terdiri dari term insurance (asuransi berjangka) ditambah produk sejenis tabungan pada bank. Sementara pada asuransi jiwa konvensional produk sejenis ini adalah kombinasi antara term insurance dengan  pure endowment.
Sebagai contoh produknya adalah kombinasi decreasing term insurance dengan tabungan, dimana produk ini setara dengan produk dwiguna biasa pada asuransi jiwa konvensional.
Secara garis besar pengelolaan produk dengan unsur tabungan dapat dilihat pada Diagram 1.   Akad antara perusahaan dengan peserta adalah tijari (niaga), dalam hal ini sebagai contoh digunakan akad wakalah wal mudharabah, dimana nisbah atau porsi pembagian hasil investasi ditetapkan diawal P% (contoh 60%) untuk peserta dan S% (contoh 40%) untuk perusahaan juga ditetapkan biaya akuisisi sebesar F% (contoh 35% dari premi tahun pertama).  Sedangkan akad sesama peserta adalah tabarru’ (hibah).
Setiap angsuran premi yang dibayarkan oleh peserta akan dikreditkan ke dalam dua jenis dana yaitu:
1.      Dana Investasi Peserta (DIP) untuk menampung porsi tabungan/investasi  dan rekening ini dimiliki oleh masing-masing peserta.  Setiap peserta memiliki satu rekening.   Dana DIP dikelola oleh Perusahaan Asuransi Syariah dengan akad mudharabah.  Untuk satu atau beberapa tahun pertama dari DIP akan dikenakan biaya akuisisi F% (contoh 35% dari premi tahun pertama) dan dikreditkan ke pendapatan perusahaan, besarnya biaya akuisisi dan lama tahun pemotongannya  tergantung masing-masing produk.
2.      Dana Tabarru (DT) untuk menampung porsi premi term insurance nya dan dana ini dimilki secara kolektif oleh semua peserta.  Untuk seluruh peserta hanya ada satu pool dana untuk digunakan secara bersama.  DT bagi sesama peserta dilandasi dengan akad tabarru.  Sedangkan pengelolaan investasinya oleh  Perusahaan Asuransi Syariah dengan akad Mudharabah atau wakalah bil ujroh.
Jika menggunakan akad mudharabah maka hasil dari investasi dana DIP dan DT dialokasikan kepada perusahaan dan peserta sesuai nisbah yang sudah disepakati diawal akad.  Porsi hasil investasi untuk perusahaan dibukukan sebagai pendapatan bagi perusahan dan selanjutnya digunakan untuk membiayai operasional perusahaan.  Sedangkan porsi hasil investasi untuk peserta dikreditkan kembali ke DIP dan DT secara proporsional.  Untuk DIP dikreditkan kepada masing-masing rekening secara individual seperti rekening tabungan pada bank.
Semua biaya operasional perusahaan akan dibebankan pada dana perusahaan bukan dana peserta.  Ada beberapa biaya yang dapat dibebankan pada dana peserta seperti biaya-biaya yang berkaitan langsung dengan proses underwriting dan klaim, seperti biaya medical test dan biaya investigasi klaim.  Dengan catatan bagian aktuaria pada saat membuat formula rate premi juga telah memperhitungkan perkiraan biaya-biaya tersebut.
Pada saat terjadi klaim maka sumber dana untuk membayarnya adalah hanya dana peserta saja,   Sumber dana untuk membayar klaim bisa  dari RP saja atau RP dan RKP tergantung dari jenis klaimnya.
Jika Jenis klaim yang terjadi adalah bagian dari risiko yang dicover dalam perjanjian seperti meninggal dunia karena sakit,  meninggal dunia karena kecelakaan, dan Cacat Tetap, maka sumber dana pembayarannya adalah DIP yang bersangkutan (termasuk hasil investasinya) ditambah sebagian dari DT yang besarnya sesuai dengan ketentuan produk.
Jika jenis klaim yang terjadi tidak berkaitan dengan risiko yang dicover seperti tahapan beasiswa, jatuh tempo habis kontrak, nilai tunai seluruhnya atau sebagian maka sumber dana  pembayarannya hanya dari DIP dan hasil investasinya saja.
Sebagai Ilustrasi dapat dilihat pada Diagram 2.  Tuan Abu Raihan menjadi peserta dengan iuran 20 juta per tahun.  Berdasarkan usia 41 tahun dan  masa perjanjian selama 5 tahun maka dikenakan rate term insurance (derma) 3% dari premi tahunan atau sebesar 600.000 per tahun yang akan dikreditkan pada RKP.
Ditahun pertama (tergantung produk) dikenakan biaya akuisisi sebesar 35% dari premi atau sebesar 7.000.000 dan menjadi pendapatan bagi perusahaan, sisanya 12.400.000 dikreditkan ke RP sebagai rekening pribadi Tuan Abu Raihan.

Diagram 1.  Diagram Alir Operasionl Produk Dengan Unsur Tabungan


Ditahun kedua dan seterusnya angsuran sebesar 20 juta setiap tahun hanya dipotong derma 3% atau sebesar 600.000 diakumulasikan pada DT, sisanya 19.400.000 diakumulasikan pada DIP.
Biaya akuisisi diperuntukkan bagi pembayaran remunerasi agen dan biaya penerbitan polis, materai, dan majin keuntungan perusahaan.  Biaya akuisisi sangat tergantung dari jenis produk yang dibuat.  Biaya akuisisi dapat diambil ditahun pertama saja atau disebar kebeberapa tahun.  Hal-hal yang perlu pertimbangkan dalam menentukan model biaya akuisisi adalah apakah remunerasi menarik untuk agen pemasaran dan bagaimana pengaruhnya terhadap hasil investasi apakah  menarik untuk peserta.
Hasil investasi dari DIP dan DT dibagi sesuai nisbah yang disepakati, dalam ilustrasi 60% untuk peserta dan 40% untuk perusahaan.  Porsi untuk peserta langsung dikreditkan ke rekening masing-masing paling tidak satu kali dalam setahun atau sesuai ketentuan produk.
Bila terjadi klaim meninggal dunia maka ahli waris akan menerima:
1.            Dana Kematian (kolom 6)
2.            Rekening Tabungan (kolom 4)
3.            Hasil Investasi (kolom 5)
Bila peserta membatalkan atau tidak meneruskan perjanjian maka akan dikembalikan Nilai Tunainya berupa:
1.            Rekening Tabungan (kolom 4)
2.            Hasil Investasi (kolom 5)
Bila terjadi lapse (peserta tidak membayar angsuran melewati masa leluasa) dan peserta ditakdirkan meninggal maka ahliwaris masih mendapatkan:
1.            Rekening Tabungan (kolom 4)
2.            Hasil Investasi (kolom 5)
Bila terjadi lapse (misalkan ditahun ke-2) dan peserta belum mengambil nilai tunai, maka posisi nilai tunai tahun ke-2 akan terus mendapat bagihasil sampai mengajukan nilai tunai.
Bila sampai akhir perjanjian peserta ditakdirkan tetap hidup maka akan menerima:
1.      Rekening Tabungan (kolom 4)
2.      Hasil Investasi (kolom 5)
3.      Surplus dana tabarru’/derma
Yang dimaksud dengan surplus dana tabarru’ adalah DT setelah dikurangi premi reasuransi, dikurangi pembayaran klaim, ditambah hasil investasi, ditambah recovery klaim dari reasuransi dan dikurangi penyisihan teknis DT.   Setiap periode tertentu aktuaria menghitung penyisihan teknis DT untuk polis-polis yang belum habis kontrak.  Jika aktual DT setelah dikurangi dengan kewajibannya lebih besar dari penyisihan teknis DT maka selisihnya merupkan surplus.
Sesuai Fatwa DSN No. 53 Tahun 2006 surplus DT ini dapat dialokasikan sbb:
1.      X% sebagai cadangan DT.
2.      Y% didistribusikan pada polis-polis yang habis kontrak dan memenuhi ketentuan.
3.      Z% dikreditkan ke rekening pendapatan perusahaan.
Diagram 3 adalah ilustrasi produk dengan unsur tabungan dan term insurance yang tetap sepanjang masa perjanjian.  Secara umum tidak banyak perbedaan dengan decreasing term insurance hanya pada Manfaat berupa dana kematian yang bersifat tetap.  Oleh karenanya perhitungan rate tabarru’  bukan terhadap angsuran premi tapi terhadap dana kematian.

Diagram 2. Ilustrasi Produk Dwiguna dengan Decreasing Term Insurance

Diagram 3. Ilustrasi Produk Dwiguna dengan Flat Term Insurance


5.         Produk Tanpa Unsur Tabungan (Hanya Proteksi)

Produk ini hanya terdiri dari term insurance (asuransi berjangka) saja.  Secara garis besar pengelolaan produk tanpa unsur tabungan dapat dilihat pada Diagram 4.   Akad antara perusahaan dengan peserta adalah tijari (komersial), dalam hal ini sebagai contoh digunakan akad wakalah bil ujroh, dimana fee atau ujroh disepakati sebesar F% (contoh 25%) dan nisbah atau porsi pembagian surplus dana tabarru ditetapkan diawal X% (contoh 20%) untuk cadangan dana tabarru,  Y% (contoh 40%) untuk peserta, dan Z% (contoh 40%) untuk perusahaan.  Sedangkan akad sesama peserta adalah tabarru’ (hibah).
Setiap angsuran premi/kontribusi yang dibayarkan oleh peserta akan dikreditkan ke dalam Dana Tabarru (DT).  Sebelum dibukukan ke DT terlebih dahulu dikurangi ujroh (fee) dan dibukukan sebagai pendapatan perusahan.  Seperti halnya produk dengan unsur tabungan, semua biaya operasional perusahaan akan dibebankan pada dana perusahaan bukan dana peserta.
Kegiatan investasi DT dapat diperjanjikan dengan akad tersendiri, misalkan wakalah bil ujroh atau akad mudharabah.
DT digunakan untuk membayar premi reasuransi dan membayar klaim-klaim yang terjadi.  DT akan mendapat tambahan dari hasil investasi dan recovery klaim dari perusahaan reasuransi.
Pada saat akhir periode maka dapat dihitung surplus asuransi terhadap seluruh peserta :
(+)  Premi seluruh peserta
( -)  Ujroh/fee
( -)  Premi reasuransi
( -)  Membayar Klaim
( -)  Penyisihan Teknis
(+)  Recovery Klaim
(+)  Hasil Investasi
Surplus DT ini sesuai Fatwa DSN No. 53 Tahun 2006  dan dikesepakati diawal perjanjian maka dapat dialokasikan sbb:
1.      X% dibukukan sebagai cadangan DT dan menjadi bagian dari DT.
2.      Y% didistribusikan ke peserta-peserta yang habis kontrak dan memenuhi ketentuan untuk mendapatkan bagihasil surplus.
3.      Z% dikreditkan ke rekening pendapatan perusahaan.[9][9]

Diagram 4.  Diagram Alir Operasional Produk Tanpa Unsur Tabungan

BAB IV
PENUTUP

Untuk menjadikan bisnis asuransi bisa diterima secara hukum fiqih Islam, maka perusahaan asuransi harus dibangun dan dijalankan dengan menghilangkan  unsur gharar, maisir dan riba.  Seperti makanan yang haram karena ada minyak babinya, maka untuk menjadikan makanan itu halal adalah dengan cara mengganti minyak babi dengan bahan lain yang halal.
Kontrak yang diterapkan dalam asuransi jiwa konvensional menganut prinsip risk transfer, sehingga menurut pandangan hukum fiqih Islam tergolong dalam kontrak jual beli (muawadah/tabadulli).  Sementara kontrak jual beli menurut hukum fiqih mensyaratkan objek yang diperjual belikan dan waktu penyerahan harus jelas dan pasti.
Pengelolaan dana asuransi jiwa pada outlet investasi yang menggunakan konsep bunga, dimana return yang akan didapat bersifat pasti dan diperjanjikan diawal.  Praktek investasi seperti ini tergolong dalam hukum fikih kategori riba.
Pada perusahaan asuransi jiwa syariah dalam hal pengembangan produk, akad atau kontrak, investasi, dan opersional perusahaan secara keseluruhan harus dipastikan tidak mengandung ketiga unsur diatas dan unsur-unsur lain yang dilarang.


DAFTAR PUSTAKA

Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, 2004. Asuransi Syariah (life and general). Jakarta : Gema Insani.

Dewan syariah Nasional MUI, 21 Pedoman Umum Asuransi Syari’ah diunduh dari http://www.aswata.co.id/images/takaful/documents/21-pedoman_asuransi_syariah.pdf pada tanggal 3 November 2015.

Muhammmad Zamachsyari, diunduh dari ‘https://mzamachsyari.wordpress.com/category/asuransi-syariah/ pada tanggal 3 November 2015.




Lampiran

Contoh Polis Asuransi Jiwa Syariah








[1][1] Diunduh di http://sultonimubin.blogspot.co.id/2012/09/al-maidah-ayat-1-10-dan-terjemah.html
[2][2] jasindo.co.id/assets/media/file/file-undang-undang-nomor-40-tahun-2014-tentang-perasuransian.pdf hal.4
[3][3] Ibid hal.8
[4][4] Ibis hal. 16
[5][5] Dewan syariah Nasional MUI, 21 Pedoman Umum Asuransi Syari’ah diunduh di http://www.aswata.co.id/images/takaful/documents/21-pedoman_asuransi_syariah.pdf
[6][6] http://jasindo.co.id/assets/media/file/file-undang-undang-nomor-40-tahun-2014-tentang-perasuransian.pdf
[7][7] Ali, diunduh di http://www.pengertianpakar.com/2015/02/pengertian-tujuan-dan-premi-asuransi.html
[8][8] Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, 2004. Asuransi Syariah (life and general). Jakarta : Gema Insani. Hlm. 210.

[9][9] Muhammmad Zamachsyari, diunduh di https://mzamachsyari.wordpress.com/category/asuransi-syariah/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aplikasi fiqh perbankan syariah dalam akad wadiah

TAHAP-TAHAP DALAM PENYUSUNAN KONTRAK

Pernyataan Standar Akuntansi Syariah (PSAK) Perbankan Syariah